IBX5980432E7F390 Makna Menjadi Manusia - Bahas Materi Sekolah

Makna Menjadi Manusia

Kemampuan manusia untuk menggunakan budi dalam memahami lingkungannya merupakan potensi dasar yang memungkinkan insan Berfikir, dengan Berfikir insan menjadi sanggup melakukan perubahan dalam dirinya, dan memang sebagian besar perubahan dalam diri manusia merupakan akhir dari aktivitas Berfikir, oleh lantaran itu sangat wajar apabila Berfikir merupakan konsep kunci dalam setiap diskursus mengenai kedudukan manusia di muka bumi, ini berarti bahwa tanpa Berfikir, kemanusiaan manusia  pun tidak punya makna bahkan mungkin tak akan pernah ada.
Berfikir juga memberi kemungkinan manusia untuk memperoleh pengetahuan, dalam tahapan selanjutnya pengetahuan itu mampu menjadi fondasi penting bagi kegiatan berfikir yang lebih mendalam. Ketika Adam diciptakan dan lalu ALLAH mengajarkan nama-nama, pada dasarnya mengindikasikan bahwa Adam (Manusia) merupakan Makhluk yang bisa Berfikir dan berpengetahuan, dan dengan pengetahuan itu Adam mampu melanjutkan kehidupannya di Dunia. Dalam konteks yang lebih luas, perintah Iqra (bacalah) yang tertuang dalam Al Qur’an mampu dipahami dalam kaitan dengan dorongan Tuhan pada Manusia untuk berpengetahuan disamping kata Yatafakkarun (berfikirlah/gunakan kecerdikan) yang banyak tersebar dalam Al Qur’an. Semua ini dimaksudkan agar manusia dapat berubah  dari tidak tahu menjadi tahu, dengan tahu ia berbuat, dengan berbuat ia berinfak bagi kehidupan. semua ini pendasarannya adalah penggunaan kecerdikan melalui kegiatan berfikir. Dengan berfikir manusia sanggup mengolah pengetahuan, dengan pengolahan tersebut, pemikiran insan menjadi makin mendalam dan makin bermakna, dengan pengetahuan manusia mengajarkan, dengan berpikir manusia mengembangkan, dan dengan mengamalkan serta mengaplikasikannya insan mampu melakukan perubahan dan peningkatan ke arah kehidupan yang lebih baik, semua itu telah membawa kemajuan yang besar dalam berbagai bidang kehidupan insan (sudut pandang positif/normatif).
Dengan demikian kemampuan untuk berubah dan perubahan yang terjadi pada insan merupakan makna pokok yang terkandung dalam kegiatan Berfikir dan berpengetahuan. Disebabkan kemampuan Berfikirlah, maka insan dapat berkembang lebih jauh dibanding makhluk lainnya, sehingga dapat terbebas dari kemandegan fungsi kekhalifahan di muka bumi, bahkan dengan Berfikir manusia sanggup mengeksplorasi, menentukan dan menetapkan keputusan-keputusan penting untuk kehidupannya.
Pernyataan di atas pada dasarnya menggambarkan keagungan manusia berkaitan dengan karakteristik eksistensial insan sebagai upaya memaknai kehidupannya dan sebagai cuilan dari Alam ini. Dalam konteks perbandingan dengan belahan-bagian alam lainnya, para akhli telah banyak mengkaji perbedaan antara manusia dengan makhluk-makhluk lainnya terutama dengan makhluk yang agak akrab dengan manusia yaitu binatang. Secara umum komparasi insan dengan binatang mampu dilihat dari sudut pandang Naturalis/biologis dan sudut pandang sosiopsikologis. Secara biologis intinya manusia tidak banyak berbeda dengan binatang, bahkan Ernst Haeckel (1834 – 1919) mengemukakan bahwa manusia dalam segala hal sungguh-sungguh ialah binatang beruas tulang belakang, yakni binatang menyusui, demimikian juga Lamettrie (1709 – 1751) menyatakan bahwa tidaklah terdapat perbedaan antara binatang dan insan dan karenanya bahwa manusia itu adalah suatu mesin.  
Kalau manusia itu sama dengan binatang, tapi kenapa manusia mampu bermasyarakat dan berperadaban yang tidak mampu dilakukan oleh binatang ?, pertanyaan ini telah melahirkan aneka macam pemaknaan wacana manusia, seperti manusia ialah makhluk yang bermasyarakat (Sosiologis), manusia ialah makhluk yang berbudaya (Antropologis), insan adalah hewan yang ketawa, sadar diri, dan merasa malu (Psikologis), semua itu kalau dicermati tidak lain lantaran manusia adalah binatang yang berfikir/bernalar (the animal that reason) atau Homo Sapien.
Dengan memahami uraian di atas, nampak bahwa ada sudut pandang yang cenderung merendahkan manusia, dan ada yang mengagungkannya, semua sudut pandang tersebut memang diperlukan untuk menjaga keseimbangan memaknai manusia. Blaise Pascal (1623 – 1662) menyatakan bahwa yaitu berbahaya bila kita menunjukan manusia sebagai makhluk yang memiliki sifat-sifat binatang dengan tidak membuktikan kebesaran insan sebagai insan. Sebaliknya yaitu bahaya untuk membuktikan insan sebagai makhluk yang besar dengan tidak menunjukan kerendahan, dan lebih berbahaya lagi bila kita tidak membuktikan sudut kebesaran dan kelemahannya sama sekali (Rasjidi. 1970 : 8). Guna memahami lebih jauh siapa itu insan, berikut ini akan dikemukakan beberapa definisi yang dikemukakan oleh para akhli :
  • Plato (427 – 348). Dalam pandangan Plato insan dilihat secara dualistik yaitu unsur jasad dan unsur jiwa, jasad akan musnah sedangkan jiwa tidak, jiwa mempunyai tiga fungsi (kekuatan) yaitu  logystikon (berfikir/rasional, thymoeides (Keberanian), dan epithymetikon (Keinginan) 
  • Aristoteles (384 – 322 SM). Manusia  itu adalah hewan yang pandai sehat, yang mengeluarkan pendapatnya, yang berbicara berdasarkan akal fikirannya. Manusia itu ialah hewan yang berpolitik (Zoon Politicon/Political Animal), binatang yang membangun masyarakat di atas famili-famili menjadi pengelompokan impersonal dari pada kampung dan negara.
  • Ibnu Sina (980 -1037 M). insan adalah makhluk yang mempunyai kesanggupan : 1) makan, 2) tumbuh, 3) ber-kembang biak, 4) pengamatan hal-hal yang istimewa, 5) pergerakan di bawah kekuasaan, 6) ketahuan (pengetahuan tentang) hal-hal yang umum, dan 7) kehendak bebas. Menurut dia, tanaman hanya mempunyai kesanggupan 1, 2, dan 3, serta hewan memiliki kesanggupan 1, 2, 3, 4, dan 5.
  • Ibnu Khaldun (1332 – 1406). Manusia ialah hewan dengan kesanggupan berpikir, kesanggupan ini merupakan sumber dari kesempurnaan dan puncak dari segala kemulyaan dan ketinggian di atas makhluk-makhluk lain.
  • Ibnu Miskawaih. Menyatakan bahwa insan adalah makhluk yang mempunyai kekuatan-kekuatan yaitu : 1) Al Quwwatul Aqliyah (kekuatan berfikir/akal), 2) Al Quwwatul Godhbiyyah (Marah, 3) Al Quwwatu Syahwiyah (sahwat). 
  • Harold H. Titus  menyatakan : Man is an animal organism, it is true but he is able to study himself as organism and to compare and interpret living forms and to inquire about the meaning of human existence. Selanjutnya Dia menyebutkan beberapa faktor yang berkaitan (menjadi karakteristik – pen) dengan manusia sebagai pribadi yaitu :
  1. Self conscioueness 
  2. Reflective thinking, abstract thought, or the power of generalization 
  3. Ethical discrimination and the power of choice 
  4. Aesthetic appreciation 
  5. Worship and faith in a higher power 
  6. Creativity of a new order
  • William E. Hocking menyatakan : Man can be defined as the animal who thinks in term of totalities. 
  • C.E.M. Joad. Menyatakan : every thing and every creature in the world except man acts as it must, or act as it pleased, man alone  act on occasion as he ought 
  • R.F. Beerling. Menyatakan bahwa manusia itu tukang bertanya.

Dari uraian dan aneka macam definisi tersebut di atas dapatlah ditarik beberapa kesimpulan ihwal siapa itu manusia yaitu :
1.      Secara fisikal, insan sejenis hewan juga
2.      Manusia punya kemampuan untuk bertanya
3.      Manusia punya kemampuan untuk berpengetahuan
4.      Manusia punya kemauan bebas
5.      Manusia bisa berprilaku sesuai norma  (bermoral)
6.      Manusia adalah makhluk yang bermasyarakat dan berbudaya
7.      Manusia punya kemampuan berfikir reflektif dalam totalitas dengan sadar diri
8.      Manusia ialah makhluk yang punya kemampuan untuk percaya pada Tuhan
apabila dibagankan dengan mengacu pada pendapat di atas akan nampak sebagai berikut :


Dengan demikian nampaknya terdapat perbedaan sekaligus persamaan antara  manusia dengan makhluk lain khususnya binatang, secara fisikal/biologis perbedaan manusia dengan binatang lebih bersifat gradual dan tidak prinsipil, sedangkan dalam aspek kemampuan berfikir, bermasyarakat dan berbudaya, serta bertuhan perbedaannya sangat asasi/prinsipil, ini berarti jika insan dalam kehidupannya hanya bekutat dalam urusan-urusan fisik biologis seakan-akan makan, minum, beristirahat, maka kedudukannya tidaklah jauh berbeda dengan hewan, satu-satunya yang bisa mengangkat manusia lebih tinggi adalah penggunaan kecerdikan untuk berfikir dan berpengetahuan serta mengaplikasikan pengetahuannya bagi kepentingan kehidupan sehingga berkembanglah masyarakat beradab dan berbudaya, disamping itu kemampuan tersebut telah mendorong insan untuk berfikir wacana sesuatu yang melebihi pengalamannya seolah-olah doktrin pada Tuhan yang merupakan inti dari seluruh fatwa Agama. Oleh karena itu carilah ilmu dan berfikirlah terus semoga posisi kita sebagai insan menjadi semakin jauh dari posisi hewan dalam konstelasi kehidupan di alam ini. Meskipun demikian penggambaran di atas harus dipandang sebagai suatu pendekatan saja dalam memberi makna manusia, karena insan itu sendiri merupakan makhluk yang sangat multi dimensi, sehingga ilustrasi yang seutuhnya akan terus menjadi perhatian dan kajian yang menarik, untuk itu tidak berlebihan apabila Louis Leahy beropini bahwa insan itu sebagai makhluk paradoksal dan  sebuah misteri, hal ini menerangkan betapa kompleks nya memaknai insan dengan seluruh dimensinya. 

Penulis: Drs. UHAR SUHARSAPUTRA,M.Pd.

Berlangganan Untuk Mendapatkan Artikel Terbaru:

0 Komentar Untuk "Makna Menjadi Manusia"

Post a Comment