IBX5980432E7F390 Materi Pelajaran PPKN: bab proteksi dan Penegakan Hak Asasi insan - Bahas Materi Sekolah

Materi Pelajaran PPKN: bab proteksi dan Penegakan Hak Asasi insan


PERLINDUNGAN DAN PENEGAKAN HAK ASASI manusia

Ilustrasi

A. HAKEKAT HAK ASASI manusia

Manusia ialah mahkluk ciptaan yang kuasa yang paling mulia, dan mempunyai derajat yang luhur sebagai manusia, mempunyai akal dan karsa yang merdeka sendiri. Semua insan sebagai insan memiliki martabat dan derajat yang sama, dan memiliki hak-hak yang sama pula. Derajat manusia yang luhur berasal dari ilahi yang menciptakannya. Dengan demikian semua insan bebas berbagi dirinya sesuai dengan kebijaksanaannya yang sehat.

Sebagai mahkluk ciptaan dewa, semua insan mempunyai hak-hak yang sama sebagai insan. Hak-hak yang sama sebagai manusia inilah yang sering disebut hak asasi manusia. Hak asasi manusia berarti hak-hak yang menempel pada manusia berdasarkan kodratnya, maksudnya hak-hak yang dimiliki manusia sebagai insan.

Hak asasi insan (HAM) yaitu hakhak dasar yang dimiliki insan sebagai insan yang berasal dari tuhan, dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun.
Dengan mendasarkan pada pengertian HAM di atas, maka HAM memiliki landasan utama, yaitu:
1. Landasan eksklusif yang pertama, yaitu kodrat insan;
2. Landasan kedua yang lebih dalam, yaitu ilahi yang membuat insan.

Jadi, HAM pada hakekatnya merupakan hak-hak mendasar yang menempel pada kodrat manusia sendiri, yaitu hak-hak yang paling dasar dari aspek-aspek kodrat insan sebagai insan. Setiap manusia yaitu ciptaan yang luhur dari yang kuasa Yang Maha Esa. Setiap insan harus mampu mengembangkan dirinya sedemikian rupa sehingga ia harus berkembang secara leluasa. 

Pengembangan diri sebagai manusia dipertanggung-jawabkan kepada tuhan sebagai asal dan tujuan hidup manusia. Semua hak yang berakar dalam kodratnya sebagai insan ialah hak-hak yang lahir bersama dengan eksistensi manusia itu sendiri. Dengan demikian hak-hak ini adalah universal atau berlaku di manapun di dunia ini. Di mana ada manusia di situ ada HAM dan harus dijunjung tinggi oleh siapapun tanpa kecuali. HAM tidak tergantung dari pengakuan orang lain, tidak tergantung dari legalisasi mesyarakat atau negara. 




Manusia memperoleh hak-hak asasi itu pribadi dari yang kuasa sendiri karena kodratnya (secundum suam naturam). Penindasan terhadap HAM bertentangan dengan keadilan dan kemanusiaan, alasannya yaitu prinsip dasar keadilan dan kemanusiaan adalah bahwa semua manusia memiliki martabat yang sama dengan hak-hak dan kewajibankewajiban yang sama. Oleh lantarannya, setiap manusia dan setiap negara di dunia wajib mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM) tanpa kecuali. Penindasan terhadap HAM berarti pelanggaran terhadap HAM.

Pengakuan oleh orang-orang lain maupun oleh negara ataupun agama tidaklah membuat adanya HAM itu. Demikian pula orang-orang lain, negara dan agama tidaklah mampu menghilangkan atau menghapuskan adanya HAM. Setiap manusia, setiap negara di manapun, kapanpun wajib mengakui dan menjunjung tinggi HAM sebagai hak-hak mendasar atau hak-hak dasar. Penindasan terhadap HAM adalah bertentangan dengan keadilan dan kemanusiaan. 

Untuk mempertegas hakekat dan pengertian HAM di atas dikuatkanlah dengan landasan aturan HAM sebagaimana dikemukakan dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 wacana Hak Asasi insan bahwa hak asasi manusia yaitu seperangkat hak yang melekat pada hakikat eksistensi insan sebagai makhluk ilahi Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, aturan, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat insan.

B. aturan DAN KELEMBAGAAN HAK ASASI manusia

1. Beberapa Ketentuan hukum atau Instrumen HAM

John Locke, pemikir politik dari Inggris, menyatakan bahwa semua orang diciptakan sama dan memiliki hak–hak alamiah yang tidak dapat dilepaskan. Hak alamiah itu meliputi hak atas hidup, hak kemerdekaan, hak milik dan hak kebahagiaan. ajaran John Locke ini dikenal sebagai konsep HAM yang sangat kuat terhadap perkembangan HAM di berbagai belahan dunia. legalisasi hak asasi manusia (HAM) secara konstitusional ditetapkan pertama kali di Amerika Serikat pada tahun 1776 dengan “Unanimous Declaration of Independence”, dan hal ini dijadikan acuan bagi majelis nasional kiprahcis ketika menerima deklarasi hak-hak manusia dan warga negara (Declaration des Droits de l’homme et de Citoyen) 26 Agustus 1789.

Badan dunia yaitu PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) juga memperkenalkan pengertian hak asasi insan yang bisa kita dapatkan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi manusia (Universal Declaration of Human Right). Deklarasi Universal merupakan pernyataan umum mengenai martabat yang melekat dan kebebasan serta persamaan insan yang harus ada pada pengertian hak asasi manusia.

Dalam UDHR pengertian HAM mampu ditemukan dalam Mukaddimah yang pada prinsipnya dinyatakan bahwa hak asasi manusia merupakan pengakuan akan martabat yang terpadu dalam diri setiap orang akan hak–hak yang sama dan tak teralihkan dari semua anggota keluarga manusia ialah dasar dari kebebasan, keadilan dan perdamaian dunia. semenjak munculnya Deklarasi Universal HAM itulah secara internasional HAM telah diatur dalam ketentuan hukum sebagai instrumen internasional.

Ketentuan hukum HAM atau disebut juga Instrumen HAM merupakan alat yang berupa peraturan perundang–undangan yang digunakan dalam menjamin proteksi dan penegakan HAM. Instrumen HAM terdiri atas instrumen nasional HAM dan instrumen internasional HAM. Instrumen nasional HAM berlaku terbatas pada suatu negara sedangkan instrumen internasional HAM menjadi rujukan negara–negara di dunia dan mengikat secara hukum bagi negara yang telah mengesahkannya (meratifikasi).

Di negara kita dalam era reformasi kini ini, upaya untuk menjabarkan ketentuan hak asasi insan telah dilakukan melalui amandemen UUD 1945 dan diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia (UURI) Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM serta meratifikasi beberapa konvensi internasional perihal HAM.

a. Undang Undang RI Nomor 39 Tahun 1999 wacana HAM.
Dalam amandemen UUD 1945 ke dua, ada bab yang secara eksplisit memakai istilah hak asasi insan yaitu bab XA yang bersikan pasal 28A s/d 28J. Dalam UURI Nomor 39 Tahun 1999 jaminan HAM lebih terinci lagi. Hal itu terlihat dari jumlah bagian dan pasal – pasal yang dikandungnya relatif banyak yaitu terdiri atas XI bagian dan 106 pasal. Apabila dicermati jaminan HAM dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan penjabarannya dalam UURI Nomor 39 Tahun 1999, secara garis besar meliputi :
  1. Hak untuk hidup (misalnya hak: mempertahankan hidup, memperoleh kesejahteraan lahir batin, memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat);
  2. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan.
  3. Hak menyebarkan diri (misalnya hak : pemenuhan kebutuhan dasar, meningkatkan kualitas hidup, memperoleh manfaat dari iptek, memperoleh informasi, melaksanakan pekerjaan sosial);
  4. Hak memperoleh keadilan (misalnya hak : kepastian hukum, persamaan di depan aturan);
  5. Hak atas kebebasan pribadi (misalnya hak : memeluk agama, iktikad politik, memilih status kewarganegaraan, beropini dan menyebarluaskannya, mendirikan parpol, LSM dan organisasi lain, bebas bergerak dan bertempat tinggal);
  6. Hak atas rasa aman (misalnya hak : memperoleh suaka politik, proteksi terhadap ancaman ketakutan, melaksanakan korelasi komunikasi, perlindungan terhadap penyiksaan, penghilangan dengan paksa dan penghilangan nyawa);
  7. Hak atas kesejahteraan (misalnya hak : milik pribadi dan kolektif, memperoleh pekerjaan yang layak, mendirikan serikat kerja, bertempat tinggal yang layak, kehidupan yang layak, dan jaminan sosial);
  8. Hak turut serta dalam pemerintahan (misalnya hak: memilih dan dipilih dalam pemilu, partisipasi eksklusif dan tidak langsung, diangkat dalam jabatan pemerintah, mengajukan usulan kepada pemerintah);
  9. Hak wanita (hak yang sama/tidak ada diskriminasi antara wanita dan pria dalam bidang politik, pekerjaan, status kewarganegaraan, keluarga perkawinan);
  10. Hak anak (misalnya hak : proteksi oleh orang bau tanah, keluarga, masyarakat dan negara, beribadah berdasarkan agamanya, berekspresi, perlakuan khusus bagi anak cacat, perlindungan dari eksploitasi ekonomi, pekerjaan, pelecehan sexual, perdagangan anak, penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya).


b. Undang Undang RI Nomor 7 Tahun 1984 wacana Ratifikasi Konvensi PBB tentang peniadaan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (disingkat sebagai Konvensi perempuan).
Dengan ratifikasi Konvensi wanita tersebut, maka segala bentuk diskriminasi yang didasarkan pada perbedaan jenis kelamin (laki–laki – perempuan) harus dihapus. misalnya, perlakuan derma upah buruh wanita dibawah upah buruh pria harus dihapus, begitu pula dunia politik bukanlah milik laki-laki maka perempuan harus diberi kesempatan yang sama menduduki posisi dalam partai politik maupun pemerintahan. Dengan demikian terjadi perbedaan penghargaan terhadap pria dan wanita, bukan lantaran jenis kelaminnya tetapi karena perbedaan pada prestasi. 

Kita harus menyadari bahwa pembangunan suatu negara, kesejahteraan dunia, dan usaha perdamaian menghendaki partisipasi maksimal kaum perempuan atas dasar persamaan dengan kaum laki-laki. Kita tidak mampu menyangkal besarnya sumbangan perempuan terhadap kesejahteraan keluarga dan membesarkan anak. Hal ini menerangkan keharusan adanya pembagian tanggung jawab antara laki-laki dan wanita dan masyarakat sebagai keseluruhan, bukan dijadikan dasar diskriminasi.

c. Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 wacana perlindungan Anak
Latar belakang dikeluarkannya undang-undang ini, sebagaimana dikemukakan dalam klarifikasi Umum undang-undang ini antara lain:
  1. Bahwa anak yaitu amanah sekaligus karunia ilahi Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi insan yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak yaitu masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas proteksi dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.
  2. Meskipun Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 ihwal Hak Asasi manusia telah mencantumkan ihwal hak anak, pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang bau tanah, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara untuk memberikan proteksi pada anak masih memerlukan suatu undang-undang mengenai proteksi anak sebagai landasan yuridis bagi pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab tersebut. Dengan demikian, pembentukan undang-undang ini didasarkan pada pertimbangan bahwa perlindungan anak dalam segala aspeknya merupakan bagian dari kegiatan pembangunan nasional, khususnya dalam memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara.
  3. Orang tua, keluarga, dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh aturan. Demikian pula dalam rangka penyelenggaraan proteksi anak, negara dan pemerintah bertanggung jawab menyediakan akomodasi dan aksesibilitas bagi anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal dan terarah.
  4. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 ini menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang bau tanah, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus demi terlindunginya hakhak anak. Rangkaian kegiatan tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. Tindakan inidimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh, mempunyai nasionalisme yang dijiwai oleh tabiat mulia dan nilai Pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dan negara.
  5. Upaya proteksi anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, ialah semenjak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun. Bertitik tolak dari konsepsi proteksi anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif, undang-undang ini meletakkan kewajiban menyampaikan proteksi kepada anak berdasarkan asas-asas sebagai berikut :
    • a. nondiskriminasi;
    • b. kepentingan yang terbaik bagi anak;
    • c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
    • d. penghargaan terhadap pendapat anak.
  6. Dalam melaksanakan pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak, perlu peran masyarakat, baik melalui forum perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia usaha, media massa, atau forum pendidikan.


d. Undang Undang RI Nomor 8 Tahun 1998 ihwal ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak manusiawi, atau Merendahkan Martabat insan (Convention Against Torture and Other Cruel, Inhumanor Degrading Treatment or Punishment).
Konvensi ini mengatur pelarangan penyiksaan baik fisik maupun mental, dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat insan yang dilakukan oleh atau atas hasutan dari atau dengan persetujuan/sepengetahuan pejabat publik dan orang lain yang bertindak dalam jabatannya. Ini berarti negara RI yang telah meratifikasi wajib mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, hukum dan langkah-langkah efektif lain guna mencegah tindakan penyiksaan (tindak pidana) di dalam wilayah yuridiksinya. contohnya langkah yang dilakukan dengan memperbaiki Tutorial interograsi dan pelatihan bagi setiap aparatur penegak aturan dan pejabat publik lain yang bertanggungjawab terhadap orang – orang yang dirampas kemerdekaannya.


e. Undang Undang RI Nomor 1 Tahun 2000 wacana ratifikasi Konvensi ILO nomor 182 Mengenai Pelanggaran dan Tindakan Segera penghapusan Bentuk–Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak.
Menurut Konvensi ILO (International Labour Organization/Organisasi Buruh Internasional) tersebut, istilah “bentuk-bentuk terburuk kerja anak mengandung pengertian sebagai berikut:
  1. Segala bentuk perbudakan atau praktik-praktik sejenis perbudakan, misalnya:
    • a) penjualan anak;
    • b) perdagangan belum dewasa;
    • c) kerja ijon;
    • d) perhambaan (perbudakan);
    • e) kerja paksa atau wajib kerja;
    • f) pengerahan belum dewasa secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata;
  2. Pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran, untuk produksi pornografi, atau untuk pertunjukan-pertunjukan porno;
  3. Pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan haram, khususnya untuk produksi dan perdagangan obat-obatan.
  4. Pekerjaan yang sifatnya atau lingkungan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak.
Dengan UURI Nomor 1 Tahun 2000 tentang pengesahan Konvensi ILO nomor 182, maka negara Republik Indonesia wajib mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, aturan, dan langkah-langkah efektif lain guna mencegah tindakan praktek memperkerjakan anak dalam bentuk-bentuk terburuk kerja anak dalam industri maupun masyarakat.

f. Undang Undang RI Nomor 11 Tahun 2005 perihal ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights).
Kovenan ini mengukuhkan dan menjabarkan pokok-pokok HAM di bidang ekonomi, sosial dan budaya dari UDHR atau DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi manusia) dalam ketentuan-ketentuan yang mengikat secara aturan. Kovenan terdiri dari pembukaan dan pasal-pasal yang mencakup 31 pasal. pada dasarnya kovenan ini mengakui hak asasi setiap orang di bidang ekonomi, sosial, dan budaya, yang meliputi :
  1. hak atas pekerjaan,
  2. hak untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan menyenangkan,
  3. hak untuk membentuk dan ikut serikat buruh,
  4. hak atas jaminan sosial, termasuk asuransi sosial ,
  5. hak atas proteksi dan bantuan yang seluas mungkin bagi keluarga, ibu, anak, dan orang muda,
  6. hak atas standar kehidupan yang memadai,
  7. hak untuk menikmati standar kesehatan fisik dan mental yang tertinggi yang mampu dicapai,
  8. hak atas pendidikan , dan
  9. hak untuk ikut serta dalam kehidupan budaya.

g. Undang Undang RI Nomor 12 Tahun 2005 tentang pengesahan Kovenan Internasional wacana Hak–hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights).
Kovenan ini mengukuhkan pokok-pokok HAM di bidang sipil dan politik yang tercantum dalam UDHR sehingga menjadi ketentuan-ketentuan yang mengikat secara aturan. Kovenan tersebut terdiri dari pembukaan dan Pasal-Pasal yang meliputi 6 bagian dan 53 Pasal. Hak–hak sipil (kebebasan–kebebasan fundamental) dan hak–hak politik meliputi :
  1. hak hidup;
  2. hak bebas dari siksaan, perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak insanwi, atau merendahkan martabat;
  3. hak bebas dari perbudakan;
  4. hak bebas dari penangkapan atau penahanan secara sewenang-wenang;
  5. hak memilih tempat tinggalnya, untuk meninggalkan negara manapun termasuk negara sendiri;
  6. hak persamaan di depan peradilan dan tubuh peradilan;
  7. hak atas praduga tak bersalah.
  8. hak kebebasan berpikir;
  9. hak berkeyakinan dan beragama;
  10. hak untuk mempunyai pendapat tanpa campur tangan pihak lain;
  11. hak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat;
  12. hak atas perkawinan/membentuk keluarga;
  13. hak anak atas proteksi yang dibutuhkan oleh statusnya sebagai anak dibawah umur, keharusan segera didaftarkannya setiap anak setelah lahir dan keharusanmempunyai nama, dan hak anak atas kewarganegaraan;
  14. hak persamaan kedudukan semua orang di depan aturan dan
  15. hak atas proteksi aturan yang sama tanpa diskriminasi.
Fundamental Hak – hak Politik
  1. hak untuk berkumpul yang bersifat damai;
  2. hak kebebasan berserikat;
  3. hak ikut serta dalam urusan publik;
  4. hak memilih dan dipilih;
  5. hak untuk mempunyai aksespada jabatan publik di negaranya ;

h. Undang-undang RI Nomor 26 tahun 2000 ihwal Pengadilan HAM.
Undang-undang ini mengatur pengadilan terhadap pelanggaran HAM berat.


2. Latar Belakang Lahirnya Instrumen Nasional HAM

Bagaimana latar belakang lahirnya instrumen nasional HAM atau perundang-undangan nasional HAM? Jaminan hak asasi manusia dalam UUD 1945 (sebelum perubahan/amandemen) menurut Kuntjara Purbopranoto belum disusun secara sistematis dan hanya empat pasal yang memuat ketentuan–ketentuan wacana hak asasi, adalah pasal 27, 28, 29 dan 31. Meskipun demikian bukan berarti HAM kurang mendapat perhatian, lantaran susunan pertama UUD 1945 adalah merupakan inti-inti dasar kenegaraan.
Dari keempat pasal tersebut, terdapat 5 (lima) pokok mengenai hak – hak asasi manusia yang terdapat dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945, yaitu :
  • a. Kesamaan kedudukan dan kewajiban warga negara di dalam hukum dan di muka pemerintahan (Pasal 27 ayat 1);
  • b. Hak setiap warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak (Pasal 27 ayat 2);
  • c. Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan mulut dan goresan pena dan sebagainya ditetapkan dengan undang – undang (Pasal 28);
  • d. Kebebasan asasi untuk memeluk agama bagi penduduk di jamin oleh Negara (Pasal 29 ayat 2);
  • e. Hak atas pengajaran (Pasal 31 ayat 1).
Masuknya pasal–pasal HAM dalam Undang-Undang Dasar 1945 di atas, tidak lepas dari perdebatan yang mendahuluinya antara kelompok yang keberatan (terutama Soekarno dan Soepomo) dan kelompok yang menghendaki dimasukan (terutama Moh. Hatta). Alasan kedua pendapat yang berbeda tersebut sebagaimana dituturkan Mr. Muhammad Yamin dalam bukunya Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid I, antara lain sebagai berikut :
Bung Karno menjelaskan bahwa telah ditentukan sidang pertama bahwa ”kita menyetujui keadilan sosial. Keadilan sosial inilah protes kita yang maha hebat terhadap dasar individualisme. Kita menghendaki keadilan sosial. Buat apa grondwet (undang–undang dasar) menuliskan bahwa insan bukan saja mempunyai hak kemerdekaan memberi bunyi, mengadakan persidangan dan berapat, bilalau contohnya tidak ada sociale rechvaardigheid (keadilan sosial) yang demikian itu ? Buat apa kita membikin grondwet, apa guna grondwet itu kalau ia tidak dapat mengisi perut orang yang hendak mati kelaparan. Maka oleh karena itu, jikalau kita betul–betul hendak mendasarkan negara kita kepada paham kekeluargaan, faham tolong–menolong, faham gotong–royong dan keadilan sosial, enyahkanlah tipe-tipe pikiran, tiap-tiap faham individualisme dan liberalisme daripadanya. Kita rancangkan UUD dengan kedaulatan rakyat, dan bukan kedaulatan individu. Inilah berdasarkan paham Panitia kiprahcang Undang-Undang Dasar satu-satunya jaminan, bahwa bangsa Indonesia seluruhnya akan selamat di kemudian hari.” Demikianlah pendapat Bung Karno, yang lalu didukung oleh Soepomo.
Sedangkan pendapat Bung Hatta, antara lain menyatakan : “…Mendirikan negara yang gres, hendaknya kita memperhatikan syarat-syarat supaya negara yang kita bikin jangan hingga menjadi negara kekuasaan. Kita menghendaki Negara Pengurus, kita membangun masyarakat gres yang berdasarkan gotong-royong, usaha bersama, tujuan kita adalah membaharui masyarakat. Tetapi disebelah itu janganlah kita memberikan kekuasaan yang tidak terbatas kepada negara untuk menjadikan di atas negara baru itu suatu Negara Kekuasaan. sebab itu ada baiknya dalam salah satu pasal yang mengenai warga negara disebutkan juga sebelah hak yang sudah diberikan kepada misalnya tiap–tiap warga negara rakyat Indonesia, supaya tiap–tiap warga negara jangan takut mengeluarkan bunyi”. Demikianlah pendapat Bung Hatta, yang pendapatnya lalu didukung oleh Muhammad Yamin.
Dengan demikian memahami pokok-pokok hak asasi insan dalam Undang-Undang Dasar 1945 rujukannya (referensinya) yang akurat adalah pendapat Bung Hatta, yang esensinya mencegah berkembangnya Negara Kekuasaan. Bung Hatta melihat dalam kenyataan pelanggaran hak asasi manusia terutama dilakukan oleh penguasa. Sedangkan aliran Bung Karno yang memandang hak asasi manusia bersifat individualisme dan dipertentangkan dengan kedaulatan rakyat dan keadilan sosial hingga saat ini masih beliaunut terutama oleh penguasa. Apa yang dikhawatirkan oleh Bung Hatta terbukti sudah. 

Hal itu mampu dicermati bahwa pada kala ke-20 masih tampak usaha hak asasi insan terutama dilakukan masyarakat terhadap pemerintahan sendiri yang adikara. hingga memasuki masa ke–21 persoalan pada abad ke-20 masih belum berakhir. Hanya saja masalah HAM, demokrasi dan lingkungan telah menjadi isue global, sehingga negara-negara yang adikara semakin terdesak untuk merealisasikan hak asasi manusia tidak hanya dari tuntutan masyarakatnya tetapi juga dari dunia internasional. 

Oleh lantaran itu, bangsa Indonesia sebagai warga dunia dan anggota PBB memiliki tanggungjawab moral untuk melaksanakan Deklarasi Universal Hak Asasi insan. Begitu pula atas desakan masyarakat bagi pengembangan kehidupan yang demokratis dan pelaksanaan HAM serta adanya Ketetapan majelis permusyawaratan rakyat No. XVII/MPR/1998 wacana Hak Asasi insan, maka dipandang perlu membentuk Undang–Undang HAM. UURI Nomor 39 Tahun 1999 perihal HAM lahir dalam suasana di atas.

3. Kelembagaan HAM

Dalam upaya perlindungan dan penegakan HAM telah dibuat lembaga–lembaga resmi oleh pemerintah seolah-olah Komnas HAM, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Peradilan HAM dan forum–lembaga yang dibentuk oleh masyarakat terutama dalam bentuk LSM pro-demokrasi dan HAM. Uraian masing-masing sebagai berikut.

a. Komnas HAM Komisi Nasional (Komnas) HAM pada awalnya dibentuk dengan Keppres Nomor 50 Tahun 1993.

Pembentukan komisi ini merupakan balasan terhadap tuntutan masyarakat maupun tekanan dunia internasional tentang perlunya penegakan hak asasi manusia di Indonesia. lalu dengan lahirnya UURI Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia, yang didalamnya mengatur ihwal Komnas HAM ( bagian VIII, pasal 75 s/d. 99) maka Komnas HAM yang terbentuk dengan Kepres tersebut harus menyesuaikan dengan UURI Nomor 39 Tahun 1999. Komnas HAM bertujuan:
  1. membantu pengembangan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi insan.
  2. meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi insan Indonesia seutuhnya dan kemampuan berpartisipasi dalam banyak sekali bidang kehidupan.
Untuk melaksanakan tujuan tersebut, Komnas HAM melaksanakan fungsi :
  1. Fungsi pengkajian dan penelitian. Untuk melaksanakan fungsi ini, Komnas HAM berwenang antara lain:
    • a) melakukan pengkajian dan penelitian banyak sekali instrumen internasional dengan tujuan memberikan saran-saran mengenai kemungkinan aksesi dan atau ratifikasi.
    • b) melakukan pengkajian dan penelitian berbagai peraturan perundang-undangan untuk memberikan rekomendasi mengenai pembentukan, perubahan dan pencabutan peraturan perundang- usul yang berkaitan dengan hak asasi manusia.
  2. Fungsi penyuluhan.
    Dalam rangka pelaksanaan fungsi ini, Komnas HAM berwenang:
    • a) menyebarluaskan wawasan mengenai hak asasi insan kepada masyarakat Indonesia.
    • b) meningkatkan kesadaran masyarakat ihwal hak asasi manusia melalui lembaga pendidikan formal dan non formal serta berbagai kalangan lainnya.
    • c) kerjasama dengan organisasi, forum atau pihak lain baik tingkat nasional, regional, maupun internasional dalam bidang hak asasi manusia.
  3. Fungsi pemantauan
    Fungsi ini meliputi kewenangan antara lain:
    • a) pengamatan pelaksanaan hak asasi insan dan penyusunan laporan hasil pengamatan tersebut.
    • b) penyelidikan dan investigasi terhadap tragedi yang timbul dalam masyarakat yang patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi insan.
    • c) pemanggilan kepada pihak pengadu atau korban maupun pihak yang beliaudukan untuk dimintai atau didengar keterangannya.
    • d) pemanggilan saksi untuk dimintai dan didengarkesaksiannya, dan kepada saksi pengadu diminta menyerahkan bukti yang diharapkan.
    • e) peninjauan di tempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu.
    • f) pemanggilan terhadap pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis ataumenyerahkan dokumen yang dibutuhkan sesuai dengan aslinya dengan persetujuan Ketua Pengadilan.
    • g) investigasi setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan dan tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu dengan persetujuan Ketua Pengadilan.
    • h) santunan pendapat berdasarkan persetujuan Ketua Pengadilan terhadap perkara tertentu yang sedang dalam proses peradilan, bilamana dalam perkara tersebut terdapat pelanggaran hak asasi insan dalam kasus publik dan acara investigasi oleh pengadilan yang kemudian pendapat Komnas HAM tersebut wajib diberitahukan oleh hakim kepada para pihak.
  4. Fungsi mediasi
    Dalam melaksanakan fungsi mediasi Komnas HAM berwenang untuk melaksanakan:
    • a) perdamaian kedua belah pihak.
    • b) penyelesaian perkara melalui Tutorial konsultasi, perundingan, konsiliasi, dan penilaian mahir.
    • c) santunan saran kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan.
    • d) penyampaian rekomendasi atas sesuatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada Pemerintah untuk ditindaklanjuti penyelesaiannya.
    • e) penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi insan kepada DPR RI untuk ditindaklanjuti.
Bagi setiap orang dan atau kelompok yang mempunyai alasan kuat bahwa hak asasinya telah dilanggar dapat mengajukan laporan dan pengaduan ekspresi atau tertulis pada Komnas HAM. Pengaduan hanya akan dilayani apabila disertai dengan identitas pengadu yang benar dan keterangan atau bukti awal yang jelas wacana materi yang diadukan.

b. Pengadilan HAM
Merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan peradilan umum dan berkedudukan di kawasan kabupaten atau kota. Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus terhadap pelanggaran HAM berat yang meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan (UURI Nomor 26 Tahun 2000 perihal Pengadilan HAM) Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompk bangsa, ras, kelompok, etnis, dan agama. Tutorial yang dilakukan dalam kejahatan genosida, misalnya ; membunuh, tindakan yang menyebabkan penderitaan fisik atau mental, membuat kondisi yang berakibat kemusnahan fisik, memaksa tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran, memindahkan secara paksa belum dewasa dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Sedangkan yang dimaksud kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai kepingan dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. Kejahatan terhadap kemanusiaan misalnya:
  1. pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, penyiksaan;
  2. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
  3. perampasan kemerdekaan atau perampasan kemerdekaan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar ketentuan pokok aturan internasional;
  4. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
  5. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin, atau alasan lain yang diakui secara universal sebagai hal yang dihentikan berdasarkan hukum internasional;
  6. penghilangan orang secara paksa (penangkapan, penahanan, atau penculikan disertai penolakan pengukuhan melakukan tindakan tersebut dan santunan gosip wacana nasib dan keberadaan korban dengan maksud melepaskan dari perlindungan hukum dalam waktu yang panjang);
  7. kejahatan apartheid (penindasan dan dominasi oleh suatu kelompok ras atas kelompok ras atau kelompok lain dan dilakukan dengan maskud untuk mempertahan peraturan pemerintah yang sedang berkuasa atau rezim). Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat. Pengadilan HAM juga berwenang mengusut dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan di luar batas territorial wilayah negara RI oleh Warga Negara Indonesia (WNI). Disamping itu juga dikenal Pengadilan HAM Ad Hoc, yang diberi kewenangan untuk mengadili pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum di undangkannya UURI Nomor 26 Tahun 2000 wacana Pengadilan HAM. Oleh lantaran itu pelanggaran HAM berat tidak mengenal kadaluwarsa. Dengan kata lain adanya Pengadilan HAM Ad Hoc merupakan pemberlakuan asas retroactive (berlaku surut) terhadap pelanggaran HAM berat.

c. Komisi Nasional proteksi Anak dan Komisi perlindungan Anak Indonesia
Komisi National proteksi Anak (KNPA) ini lahir berawal dari gerakan nasional perlindungan anak yang bantu-membantu telah dimulai sejak tahun 1997. lalu pada era reformasi, tanggung jawab untuk memberikan perlindungan anak diserahkan kepada masyarakat. tugas KNPA melakukan proteksi anak dari perlakuan, misalnya: diskriminasi, eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual, penelantaraan, kekejaman, kekerasan, penganiayaan, ketidakadilan dan perlakuan salah yang lain. KNPA juga yang mendorong lahirnya UURI Nomor 23 Tahun 2002 tentang proteksi Anak. Disamping KNPA juga dikenal KPAI (Komisi proteksi Anak Indonesia). KPAI dibuat berdasarkan amanat pasal 76 UU RI Nomor 23 Tahun 2002.
Komisi perlindungan Anak Indonesia bertugas :
  1. melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan proteksi anak
  2. mengumpulkan data dan berita, mendapat pengaduan masyarakat, melaksanakan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan proteksi anak.
  3. memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak. contohnya untuk tugas memberikan masukan kepada Presiden/pemerintah KPAI meminta pemerintah segera membuat undang–undang larangan merokok bagi anak atau setidak-tidaknya memasukan pasal larangan merokok bagi anak dalam UU.

d. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan dibentuk berdasarkan Keppres Nomor 181 Tahun 1998. Dasar pertimbangan pembentukan Komisi Nasional ini ialah sebagai upaya mencegah terjadinya dan menghapus segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Komisi Nasional ini bersifat independen dan bertujuan:
a. menyebarluaskan pemahaman wacana bentuk kekerasan terhadap perempuan.
b. membuatkan kondisi yang aman bagi peniadaan bentuk kekerasan terhadap perempuan.
c. meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan hak asasi perempuan.
Dalam rangka mewujudkan tujuan di atas, Komisi Nasional ini memiliki kegiatan sebagai berikut:
  1. penyebarluasan pemahaman, pencegahan, penanggulangan, abolisi segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
  2. pengkajian dan penelitian terhadap berbagai instrumen PBB mengenai perlindungan hak asasi manusia terhadap perempuan.
  3. pemantauan dan penelitian segala bentukkekerasan terhadap perempuan dan memberikan pendapat, saran dan pertimbangan kepada pemerintah.
  4. penyebarluasan hasil pemantauan dan penelitian atas terjadinya kekerasan terhadap perempuan kepada masyarakat.
  5. pelaksanaan kerjasama regional dan internasional dalam upaya pencegahan dan penanggulangan kekerasan terhadap perempuan.

e. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Komisi Kebenaran
Dibentuk berdasarkan UURI Nomor 27 Tahun 2004 wacana Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Keberadan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) untuk :
  1. Memberikan alternatif penyelesaian pelanggaran HAM berat di luar Pengadilan HAM ketika penyelesaian pelanggaran HAM berat lewat pengadilan HAM dan pengadilan HAM Ad Hoc mengalami kebuntuan;
  2. Sarana mediasi antara pelaku dengan korban pelanggaran HAM berat untuk merampungkan di luar pengadilan HAM.
Dengan demikian diharapkan masalah pelanggaran HAM berat dapat diselesaikan, sebab kalau tidak mampu diselesaikan maka akan menjadi ganjalan bagi upaya membuat rasa keadilan dan kebenaran dalam masyarakat. Apabila rasa keadilan dan keinginan masyarakat untuk mengungkap kebenaran mampu diwujudkan, maka akan dapat diwujudkan rekonsiliasi (perdamaian/perukunan kembali). Rekonsiliasi ini penting semoga kehidupan berbangsa dan bernegara mampu dihindarkan dari konflik dan dendam sejarah yang berkepanjangan antar sesama anak bangsa. Perdamaian sesama anak bangsa merupakan modal utama untuk membangun bangsa dan negara ini ke arah kemajuan dalam segala bidang.

f. LSM Pro-demokrasi dan HAM
Disamping lembaga penegakan hak asasi manusia yang dibentuk oleh pemerintah, masyarakat juga mendirikan aneka macam forum HAM. forum HAM bentukan masyarakat terutama dalam bentuk LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) atau NGO (Non Governmental Organization) yang programnya berfokus pada upaya pengembangan kehidupan yang demokratis (demokratisasi) dan pengembangan HAM. LSM ini sering disebut sebagai LSM Prodemokrasi dan HAM. Yang termasuk LSM ini antara lain :
a) YLBHI (Yayasan forum kontribusi aturan Indonesia),
b) Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan),
c) Elsam (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat),
d) PBHI (Perhimpunan donasi hukum dan Hak Asasi Indonesia).

LSM yang menangani banyak sekali aspek HAM, sesuai dengan minat dan kemampuannya sendiri pada umumnyaterbentuk sebelum didirikannya Komnas HAM. Dalam pelaksanaan perlindungan dan penegakkanHAM, LSM tampak merupakan kawan kerja Komnas HAM. contohnya, LSM mendampingi para korban pelanggaran HAM ke Komnas HAM. Di berbagai daerah-pun kini telah berkembang pesat LSM dengan minat pada aspek HAM dan demokrasi maupun aspek kehidupan yang lain. contohnya di Yogyakarta terdapat kurang lebih 22 LSM. LSM di tempat Yogyakarta ada yang merupakan cabang dari LSM sentra (Nasional) juga ada yang bangun sendiri.

C. KASUS PELANGGARAN DAN UPAYA PENEGAKAN HAK ASASI manusia

1. Penggolongan Pelanggaran Hak Asasi insan
Pelanggaran hak asasi manusia ialah setiap perbuatan yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia (UURI Nomor 39 Tahun 1999). Kapan dinyatakan adanya pelanggaran HAM ? Hampir mampu dipastikan dalam kehidupan seharai–hari dapat ditemukan pelanggaran hak asasi manusia baik di Indonesia maupun di belahan dunia lain. Pelanggaran itu baik dilakukan oleh negara/ pemerintah maupun oleh masyarakat.
Menurut Richard Falk kategori–kategori pelanggaran HAM yang ianggap kejam, yaitu :
a. Pembunuhan besar–besaran (genocide).
b. Rasialisme resmi.
c. Terorisme resmi berskala besar.
d. Pemerintahan totaliter.
e. Penolakan secara sadar untuk memenuhi kebutuhan–kebutuhan dasar manusia.
f. Perusakan kualitas lingkungan.
g. Kejahatan – kejahatan kiprahg.

Akhir–akhir ini di dunia Internasional maupun di Indonesia, dihadapkan banyak pelanggaran hak asasi insan dalam wujud teror. Leiden & Schmit, mengartikan teror sebagai tindakan berasal dari suatu kekecewaan atau keputusasaan, biasanya disertai dengan ancaman– bahaya tak berkemanusiaan dan tak mengenal belas kasihan terhadap kehidupan dan barang–barang dilakukan dengan Tutorial-cara melanggar aturan. 

Teror mampu dalam bentuk pembunuhan, penculikan, sabotase, subversiv, penyebaran desas–desus, pelanggaran peraturan hukum, main hakim sendiri, pembajakan dan penyanderaan. Teror mampu dilakukan oleh pemerintah mapun oleh masyarakat (oposan). Teror sebagai bentuk pelanggaran hak asasi insan yang kejam (berat), lantaran menimbulkan ketakutan sehingga rasa aman sebagai hak setiap orang tidak lagi mampu dirasakan. Dalam kondisi ketakutan maka seseorang/masyarakat sulit untuk melaksanakan hak atau kebebasan yang lain, sehingga akan menimbulkan kesulitan dalam upaya berbagi kehidupan yang lebih maju dan bermartabat.

Penggolongan pelanggaran HAM di atas merupakan contoh pelanggaran HAM yang berat dikemukakan Ricahard Falk. Dalam UURI Nomor 39 Tahun 1999 yang dikategorikan pelanggaran HAM yang berat yaitu :
a. pembunuhan masal (genocide);
b. pembunuhan sewenang–wenang atau diluar putusan pengadilan;
c. penyiksaan;
d. penghilangan orang secara paksa;
e. perbudakan atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis.
Disamping pelanggaran HAM yang berat juga dikenal pelanggaran HAM biasa. Pelanggaran HAM biasa antara lain : pemukulan, penganiayaan, pencemaran nama baik, menghalangi orang untuk mengekspresikan pendapatnya, penyiksaan, menghilangkan nyawa orang lain.

2. berbagai teladan Pelanggaran HAM
Banyak terjadi pelanggaran HAM di Indonesia, baik yang dilakukan pemerintah, abdnegara keamanan maupun oleh masyarakat. Hal ini mampu ditunjukan adanya korban akibat bergai kerusuhan yang terjadi di tanah air. contohnya, korban hilang dalam banyak sekali kerusuhan di Jakarta, Aceh, Ambon dan Papua diperkirakan ada 1148 orang hilang dalam kurun waktu 1965 – Januari 2002 (Kompas 1 Juni 2002).

Kita juga dapat dengan mudah menemukan pelanggaran HAM di sekitar kita yang menimpa anak – anak. misalnya, dalam kehidupan sehari – hari kita menyaksikan banyak anak (dibawah umur 18 tahun) dipaksa harus bekerja mencari uang, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya maupun untuk membantu keluarganya atau pihak lain. Ada yang menjadi pengamen di jalanan, menjadi buruh, bahkan dieksploitasi untuk pekerjaan-pekerjaan yang tidak patut. Mereka telah kehilangan hak anak berupa proteksi oleh orang bau tanah, keluarga, masyarakat dan negara, proteksi dari eksploitasi ekonomi, dan pekerjaan.

Begitu pula kita juga dapat menemukan kasus sejumlah anak yang melanggar aturan (berkonflik dengan aturan). misalnya data lembaga Advokasi Anak (LAdA) Lampung menyatakan jumlah anak yang berkonflik dengan aturan selama Januari–Maret 2008 mencapai 83 orang. Pelanggaran aturan yang dilakukan anak–anak adalah pencurian, penganiayaan, penggunaan narkoba, pelecehan seksual, perampasan, penodongan, pembunuhan, perjudian, perampokan, penjambretan, curanmor, dan perkelahaian (“Anak – anak Berkonflik dengan hukum”, Kompas, 7 April 2008).

Dalam kehidupan sehari–hari kasus pelanggaran HAM oleh seseorang/masyarakat terutama pada perbuatan main hakim sendiri, seperti pertikaian antar kelompok (konflik sosial), pengeroyokan, pembakaran hingga tewas terhadap orang yang dituduh atau ketangkap basah melakukan pencurian. Kebiasaan pengeroyokan sebagai bentuk main hakim sendiri dalam merampungkan pertikaian atau konflik juga tampak sangat kuat di kalangan para pelajar.

Hal ini tentunya sangat memprihatinkan, lantaran mencerminkan suatu kehidupan yang tidak beradab yang semestinya dalam merampungkan problem (konflik) dilakukan dengan Tutorial–cara yang bermartabat seperti melaksanakan perdamaian , mengacu pada aturan atau norma yang berlaku, melalui perantara tokoh–tokoh masyarakat/adat, dan forum–lembaga masyarakat yang ada.

Berikut ini dipaparkan beberapa contoh pelanggaran HAM yang menjadi sorotan nasional bahkan internasional :
a. Kasus Marsinah Kasus ini berawal dari unjuk rasa dan pemogokan yang dilakukan buruh PT.CPS pada tanggal 3-4 Mei 1993. aksi ini berbuntut dengan di PHK-nya 13 buruh. Marsinah menuntut dicabutnya PHK yang menimpa kawan-kawannya Pada 5 Mei 1993 Marsinah ‘menghilang’, dan balasannya pada 9 Mei 1993, Marsinah ditemukan tewas dengan kondisi yang mengenaskan di hutan Wilangan Nganjuk.
b. Kasus Trisakti dan Semanggi Kasus Trisakti dan Semanggi, terkait dengan gerakan reformasi. Arah gerakan reformasi adalah untuk melakukan perubahan yang lebih baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Gerakan reformasi dipicu oleh krisis ekonomi tahun 1997. Krisis ekonomi terjadi berkepanjangan karena fondasi ekonomi yang lemah dan pengelolaan pemerintahan yang tidak higienis dari KKN (Korupsi kolusi dan Nepotisme). Gerakan reformasi yang dipelopori mahasiswa menuntut perubahan dari pemerintahan yang otoriter menjadi pemerintahan yang demokratis, mensejahterakan rakyat dan bebas dari KKN.

Demonstrasi merupakan senjata mahasiswa untuk menekan tuntutan perubahan ketika ialog mengalami jalan buntuk atau tidak efektif. Ketika demonstrasi inilah berbagai hal yang tidak dinginkan mampu terjadi. lantaran sebagai gerakan massa tidak mudah melaksanakan kontrol. Bentrok fi sik dengan aparat kemanan, pengrusakan, penembakan dengan peluru karet maupun tajam inilah yang mewarai kasus Trisakti dan Semanggi. Kasus Trisakti terjadi pada 12 Mei 1998 yang menewaskan 4 (empat) mahasiswa Universitas Trisakti yang terkena peluru tajam. Kasus Trisakti sudah ada pengadilan militer. Tragedi Semanggi I terjadi 13 November 1998 yang menewaskan setidaknya 5 (lima) mahasiswa, sedangkan tragedi Semanggi II pada 24 September 1999, menewaskan 5 (lima) orang.

Dengan jatuhnya korban pada kasus Trisakti, emosi masyarakat meledak. Selama dua hari berikutnya 13 – 14 Mei terjadilah kerusuhan dengan membumi hanguskan sebagaian Ibu Kota Jakarta. kemudian berkembang meluas menjadi penjarahan dan agresi SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan). Akibat kerusuhan tersebut, Komnas HAM mencatat :
1) 40 sentra perbelanjaan terbakar;
2) 2.479 toko hancur;
3) 1.604 toko dijarah;
4) 119 mobil hangus dan ringsek;
5) 1.026 rumah penduduk luluh lantak;
6) 383 kantor rusak berat; dan
7) 1.188 orang meninggal dunia. (GATRA, 9 Januari 1999).

Dengan korban yang sangat besar dan mengenaskan di atas, itulah harga yang harus dibayar bangsa kita ketika menginginkan perubahan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Seharusnya hal itu masih mampu dihindari apabila semua anak bangsa ini berpegang teguh pada nilai – nilai luhur Pancasila sebagai rujukan dalam memecahkan banyak sekali masalah dan mengelola negara tercinta ini. tragedi Mei tahun 1998 dicatat disatu sisi sebagai Tahun Reformasi dan pada sisi lain sebagai Tragedi Nasional.

c. Kasus Bom Bali bencana peledakan bom oleh kelompok teroris di Legian Kuta Bali 12 November 2002, yang memakan korban meninggal dunia 202 orang dan ratusan yang luka-luka, semakin menambah kepedihan kita. Apa lagi yang menjadi korban tidak hanya dari Indonesia, bahkan kebanyakan dari turis manca negara yang datang sebagai tamu di negara kita yang mestinya harus dihormati dan dijamin keamanannya.

3. Faktor Penyebab Terjadinya Pelanggaran HAM
Mengapa pelanggaran hak asasi insan sering terjadi di Indonesia, meskipun seperti telah dikemukakan di atas telah dijamin secara konstitusional dan telah dibuatnya forum penegakan hak asasi manusia. Apa bila dicermati secara seksama ternyata faktor penyebabnya kompleks. 

Faktor–faktor penyebabnya antara lain:
a. masih belum adanya kesepahaman pada tataran konsep hak asasi insan antara paham yang memandang HAM bersifat universal (universalisme) dan paham yang memandang setiap bangsa memiliki paham HAM tersendiri berbeda dengan bangsa yang lain terutama dalam pelaksanaannya (partikularisme);
b. adanya pandangan HAM bersifat individulistik yang akan mengancam kepentingan umum (dikhotomi antara individualisme dan kolektivisme);
c. kurang berfungsinya lembaga–lembaga penegak hukum (polisi, jaksa dan pengadilan); dan
d. pemahaman belum merata tentang HAM baik dikalangan sipil maupun militer.
Disamping faktor-faktor penyebab pelanggaran hak asasi manusia tersebut di atas, menurut Effendy salah seorang pakar aturan, ada faktor lain yang esensial yaitu “kurang dan tipisnya rasa tanggungjawab”.

4. Menanggapi Kasus-kasus Pelanggaran HAM di Indonesia
Kasus–kasus pelanggaran HAM di Indonesia sebagaimana telah dikemukakan di depan membawa berbagai akibat. Akibat itu, contohnya menjadikan masyarakat dan bangsa Indonesia sangat menderita dan mengancam integrasi nasional. Bagaimana kita menanggapi kasus kasus pelanggaran HAM di Indonesia? Sebagai warga negara yang baik harus ikut serta secara aktif (berpartisipasi) dalam memecahkan banyak sekali kasus yang dihadapi bangsa dan negaranya, termasuk masalah pelanggaran HAM. 

Untuk itu tanggapan yang mampu dikembangkan contohnya : bersikap tegas tidak membenarkan setiap pelanggaran HAM. Alasannya:
a. dilihat dari segi moral merupakan perbuatan tidak baik ialah bertentangan dengan nilai–nilai kemanusiaan;
b. di lihat dari segi hukum, bertentangan dengan prinsip hukum yang mewajibkan bagi siapapun untuk menghormati dan mematuhi instrumen HAM;
c. dilihat dari segi politik membelenggu kemerdekaan bagi setiap orang untuk melaksanakan kritik dan kontrol terhadap pemerintahannya. Akibat dari kendala ini, maka pemerintahan yang demokratis sulit untuk di wujudkan.
Disamping tanggapan kita terhadap pelanggaran HAM berupa sikap tersebut di atas, juga bisa berupa sikap aktif. perilaku aktif adalah berupa ikut menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Indonesia, sesuai dengan kemampuan dan prosedur yang dibenarkan. Hal ini sesuai dengan amanat konstitusi kita (dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945) bahwa kemerdekaan yang diproklamasikan yaitu dalam rangka membuatkan kehidupan yang bebas. Juga sesuai dengan “Deklarasi Pembela HAM” yang dideklarasikan oleh Majelis Umum PBB pada tangal 9 Desember 1998. Isi deklarasi itu antara lain menyatakan “setiap orang mempunyai hak secara sendiri–sendiri maupun bersama– sama untuk ikut serta dalam kegiatan menentang pelanggaran HAM”.

Dengan kata lain tanggapan terhadap pelanggaran HAM di Indonesia dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, yaitu :
a. Mengutuk, contohnya dalam bentuk tulisan yang dipublikasikan melalui majalah sekolah, surat kabar, dikirim ke forum pemerintah atau pihak–pihak yang terkait dengan pelanggaran HAM. mampu juga kecaman/ kutukan itu dalam bentuk poster, dan demonstrasi secara tertib.
b. Mendukung upaya forum yang berwenang untuk menindak secara tegas pelaku pelanggaran HAM. contohnya mendukung digelarnya peradilan HAM, mendukung upaya penyelesaian melalui lembaga peradilan HAM internasional, apabila peradilan HAM nasional mengalami jalan buntu.
c. Mendukung dan berpartisipasi dalam setiap upaya yang dilakukan pemerintah dan masyarakat untuk memberikan bantuan kemanusiaan. donasi kemanusiaan itu mampu berwujud makanan, pakaian, obat-obatan atau tenaga medis. Partisipasi juga mampu berwujud usaha menggalang pengumpulan dan penyaluran berbagai kontribusi kemanusiaan.
d. Mendukung upaya terwujudnya jaminan restitusi, kompensasi, dan rehabilitasi bagi para korban pelanggaran HAM. Restitusi merupakan ganti rugi yang dibebankan pada para pelaku baik untuk korban atau keluarganya. bila restitusi dianggap tidak mencukupi, maka harus diberikan kompensasi. 

Di samping restitusi dan kompensasi, korban juga berhak mendapat rehabilitasi yang mampu bersifat psikologis, medis, dan fisik. Rehabilitasi psikologis misalnya pembinaan kesehatan mental untuk terbebas dari trauma, stres dan gangguan mental yang lain. Rehabilitasi medis, yaitu berupa jaminan pelayanan kesehatan. Sedangkan rehabilitasi fisik bisa berupa pembangunan kembali sarana dan prasarana, seakan-akan perumahan, air minum, perbaikan jalan, dan lain – lain.

5. acuan Kasus Pelanggaran HAM dan Upaya Penegakannya
Kasus pelanggaran HAM mampu terjadi di lingkungan apa saja, termasuk di lingkungan sekolah. Sebagai tindakan pencegahan maka di lingkungan sekolah antara lain perlu dikembangkan sikap dan sikap jujur, saling menghormati, persaudaraan dan menghindarkan dari aneka macam kebiasaan melaksanakan tindakan kekerasan atau perbuatan tercela yang lain. contohnya, dengan mengembangkan nilai-nilai budaya lokal yang sangat mulia.

Contoh Hasus Pelanggaran HAM

Penganiayaan atas Kepala Sekolah SLTP 1 Raha, La diallah dan Satpam Teguh (5 Juni 2004).
Peristiwa tersebut beliauwali dari Risman Alim murid kelas 2 Sekolah Menengah Pertama 1 Raha yang sering mabuk-mabukan. Risman adalah anak Bripka Alim Saman anggota Polres Muna. lantaran sering mabuk Risman dipanggil guru bidang Bimbingan dan Penyuluhan dan dinasihati. Orang tua Risman pun sempat dipanggil menghadap. Ketika ujian kelas 3 berlangsung, Risman tiba terlambat ke sekolah dan terlihat mabuk. 

Guru yang menanyai Risman merasa dibohongi muridnya dan menendang kaki Risman. Hal itu membuat orang bau tanah Risman marah dan mendatangi sekolah , kemudian menganiaya Kepala Sekolah SLTP 1 Raha La diallah dan Satpam Teguh. “Dia juga mengancam akan membom sekolah karena mengaku mempunyai dua bom dan menembaki para guru”, tambah Edy Siregar Sekretaris PGRI Kabupaten Muna. Akibat bencana tersebut, para guru melaksanakan agresi mogok mengajar di Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara sebagai wujud solidaritas atas tindakan penganiayaan terhadap Kepala Sekolah SLTP 1 Raha dan Satpam Teguh.

Para guru tidak puas dengan penanganan yang dilakukan Kapolres. “Bahkan ketika dipanggil dewan perwakilan rakyatD Kapolres tidak hadir, seakan-akannya Kapolres Muna melindungi anak buahnya,”. Atas dasar pertimbangan bahwa kasus ini tidak ditanggapi para pejabat terkait, maka sekitar sepuluh orang perwakilan guru dari Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara mendatangi Kantor Komnas HAM. Anngota Komnas HAM, MM Billah berjanji akan mendatangi tempat insiden, dan akan menindaklanjuti sebagai kasus HAM tapi bukan pelanggaran HAM berat (Tempo Interaktif, 21 Juni 2004).

Upaya penegakan terhadap kasus pelanggaran HAM tergantung pada apakah pelanggaran HAM itu masuk kategori berat atau bukan. Apabila berat, maka penyelesaiannya melalui Peradilan HAM, namun apabila pelanggaran HAM bukan berat melalui Peradilan Umum. Kita sebagai insan dan sekaligus sebagai warga negara yang baik, bila melihat atau mendengar terjadinya pelanggaran HAM sudah seharusnya mempunyai kepedulian. Meskipun pelanggaran itu tidak mengenai diri kalian atau keluarga kalian. 

Kita sebagai sesama anak bangsa harus peduli terhadap korban pelanggaran HAM atas sesamanya. Baik korban itu anak, perempuan, laki–laki, berbeda agama, suku dan kawasan semua itu saudara kita. Saudara kita di Merauke–Papua menyatakan “IZAKOD BEKAI IZAKOD KAI” (satu hati satu tujuan) . Kepedulian kita terhadap penegakan HAM merupakan amanah dari nilai Pancasila yakni kemanusiaan yang adil dan beradab yang sama–sama kita junjung tinggi, karena akan mampu menghantarkan sebagai bangsa yang beradab. Oleh lantaran itu sikap tidak peduli harus dihindari.

D. MENGHARGAI UPAYA proteksi HAK ASASI manusia

Upaya proteksi HAM penekanannya pada berbagai tindakan pencegahan terhadap terjadinya pelanggaran HAM. proteksi HAM terutama melalui pembentukan instrumen aturan dan kelembagaan HAM. Juga dapat melalui banyak sekali faktor yang berkaitan dengan upaya pencegahan HAM yang dilakukan individu maupun masyarakat dan negara. Negaralah yang memiliki peran utama untuk melindungi warga negaranya termasuk hak- hak asasinya.
Kapan jaminan perlindungan HAM dinyatakan telah di laksanakan? Meskipun di Indonesia telah ada jaminan secara konstitusional maupun telah dibuat forum untuk penegakannya, tetapi belum menjamin bahwa hak asasi manusia dilaksanakan dalam kenyataan kehidupan sehari–hari atau dalam pelaksanaan pembangunan. Lukman Soetrisno seorang sosiolog, mengajukan indikator bahwa suatu pembangunan telah melaksanakan hak–hak asasi insan apabila telah memperlihatkan adanya indikator-indikator, sebagai berikut :
  1. dalam bidang politik berupa kemauan pemerintah dan masyarakat untuk mengakui pluralisme pendapat dan kepentingan dalam masyarakat;
  2. dalam bidang sosial berupa perlakuan yang sama oleh aturan antara wong cilik dan priyayi dan toleransi dalam masyarakat terhadap perbedaan atau latar belakang agama dan ras warga negara Indonesia, dan
  3. dalam bidang ekonomi dalam bentuk tidak adanya monopoli dalam sistem ekonomi yang berlaku.
Ketiga indikator tersebut kalau digunakan untuk melihat pelaksanaan pembangunan di Indonesia dewasa ini di bidang politik, sosial dan ekonomi masih jauh dari yang diharapkan. Kehidupan politik masih cenderung didominasi konflik antar elit politik sering berimbas pada konflik dalam masyarakat (konfl ik horizontal) dan elit politik lebih memperhatikan kepentingan diri/kelompoknya, sementara kepentingan masyarakat sebagai konstiuennya beliaubaikan. Ingat berkecamuknya konfl ik di Ambon, Poso, konflik prokontra pemekaran provinsi di Papua, dan konfl ik antar simpatisan partai politik (akhir Oktober 2003) di Bali.
Di bidang aturan masih terlihat lemahnya penegakan hukum, banyak pejabat yang melaksanakan pelanggaran aturan sulit dijamah oleh aturan, sementara ketika pelanggaran itu dilakukan oleh wong cilik hukum tampak begitu kuat cengkeramannya. Dalam masyarakat juga masih tampak kurang adanya toleransi terhadap perbedaan agama, ras konflik. banyak sekali konflik dalam masyarakat paling tidak dipermukaan masih sering terdapat nuansa SARA. Sedangkan di bidang ekonomi masih tampak dikuasai oleh segelintir orang (konglomerat) yang menunjukkan belum adanya kesempatan yang sama untuk berusaha.

Kondisi tersebut merupakan salah satu faktor mengapa Indonesia begitu sulit untuk keluar dari krisis politik, ekonomi dan sosial. Ini berarti harus beliaukui bahwa dalam pelaksanaan hak asasi manusia masih banyak terjadi pelanggaran dalam berbagai bidang kehidupan. Pelanggaran baik dilakukan oleh penguasa maupun masyarakat, namun ada kecenderungan pihak penguasa lebih secara umum dikuasai, lantaran sebagai pemegang kekuasaan mampu secara leluasa untuk memenuhi kepentingan yang seringkali dilakukan dengan Tutorial–cara manipulasi\sehingga mengorbankan hak – hak pihak lain. seolah-olah kebijakan pemerintah mengenai impor beras, dirasakan sangat merugikan para petani. 

Dalam bentuk kegiatan seakan-akan apa menghargai upaya proteksi HAM? Menghargai upaya proteksi HAM mampu diwujudkan dalam berbagai kegiatan untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM. berbagai kegiatan yang mampu dimasukan dalam upaya perlindungan HAM antara lain:
  1. Kegiatan belajar bersama, berdiskusi untuk memahami pengertian HAM;
  2. Mempelajari peraturan perundang – permintaan mengenai HAM maupun peraturan hukum pada umumnya, lantaran peraturan aturan yang umum pada dasarnya juga telah memuat jaminan proteksi HAM;
  3. Mempelajari perihal peran forum–lembaga perlindungan HAM, seperti Komnas HAM, Komisi Nasional proteksi Anak (KNPA), LSM, dan seterusnya;
  4. Memasyarakatkan tentang pentingnya memahami dan melaksanakan HAM, semoga kehidupan bersama menjadi tertib, tenang dan sejahtera kepada lingkungan masing– masing;
  5. Menghormati hak orang lain, baik dalam keluarga, kelas, sekolah, pergaulan, maupun masyrakat;
  6. Bertindak dengan mematuhi peraturan yang berlaku di keluarga, kelas, sekolah, OSIS, masyarakat, dan kehidupan bernegara;
  7. Berbagai kegiatan untuk mendorong semoga negara mencegah banyak sekali tindakan anti pluralisme (kemajemukan etnis, budaya, kawasan, dan agama);
  8. Berbagai kegiatan untuk mendorong pegawapemerintah penegak hukum bertindak adil;
  9. Berbagai kegiatan yang mendorong agar negara mencegah kegiatan yang mampu menimbulkan kesengsaraan rakyat untuk memenuhi kebutuhan dasarnya seakan-akan, sandang, pangan, papan, kesehatan dan pendidikan.

E. MENGHARGAI UPAYA PENEGAKAN HAK ASASI insan

Upaya penegakan HAM dapat dilakukan melalui jalur aturan dan politik. Maksudnya terhadap banyak sekali pelanggaran HAM maka upaya menindak para pelaku pelanggaran diselesaikan melalui Pengadilan HAM bagi pelanggaran HAM berat dan melalui KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi). Upaya penegakan HAM melalui jalur Pengadilan HAM, mengikuti ketentuan-ketentuan antara lain, sebagai berikut:
  1. Kewenangan menilikn dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat tersebut di atas oleh Pengadilan HAM tidak berlaku bagi pelaku yang berumur di bawah 18 tahun pada dikala kejahatan dilakukan.
  2. Terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkan UURI No.26 Tahun 2000, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc. Pembentukan Pengadilan HAM ad hoc diusulkan oleh dewan perwakilan rakyat berdasarkan pada dugaan telah terjadinya pelanggaran hak asasi insan yang berat yang dibatasi pada tempat dan waktu perbuatan tertentu (locus dan tempos delicti ) yang terjadi sebelum diundangkannya UURI No. 26 Tahun 2000.
  3. Agar pelaksanaan Pengadilan HAM bersifat jujur, maka investigasi perkaranya dilakukan majelis hakim Pengadilan HAM yang berjumlah 5 orang. Lima orang tersebut, terdiri atas 2 orang hakim dari Pengadilan HAM yang bersangkutan dan 3 orang hakim ad hoc (diangkat di luar hakim karir).
Sedang penegakan HAM melalui KKR penyelesaian pelanggaran HAM dengan Cara para pelaku mengungkapkan akreditasi atas kebenaran bahwa ia telah melakukan pelanggaran HAM terhadap korban atau keluarganya, kemudian dilakukan perdamaian. Kaprikornus KKR berfungsi sebagai perantara antara pelaku pelanggaran dan korban atau keluarganya untuk melaksanakan penyelesaian lewat perdamaian bukan lewat jalur Pengadilan HAM. Dalam upaya penegakan HAM kiprah korban dan saksi sangat menentukan, oleh lantaran itu mereka perlu memperoleh jaminan keamanan. 

Bagaimanakah jaminan terhadap para korban dan saksi yang berupaya menegakkan HAM? Dalam rangka memperoleh kebenaran aktual, maka para korban dan saksi dijamin proteksi fisik dan mental dari bahaya, gangguan, teror dan kekerasan dari pihak manapun. lalu untuk memenuhi rasa keadilan maka bagi setiap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak memperoleh ganti rugi oleh negara (kompensasi), ganti rugi oleh pelaku atau pihak ketiga (restitusi), pemulihan pada kedudukan semula, seolah-olah nama baik, jabatan, kehormatan atau hak-hak lain (rehabilitasi). 

Kegiatan seolah-olah apa yang mampu digolongkan sebagai menghargai upaya penegakan HAM? Secara sederhana ukuran yang dapat dipakai untuk menentukan kegiatan yang dapat digolongkan (dikategorikan) menghargai upaya penegakan HAM yaitu setiap sikap dan sikap yang positif untuk mendukung upaya–upaya menindak secara tegas pelaku pelanggaran HAM baik melalui jalur hukum maupun melalui jalur politik, seperti KKR, derma rehabilitasi, restitusi, dan kompensasi.




Beberapa contoh kegiatan yang mampu dimasukan menghargai upaya penegakan HAM, antara lain :
  1. Membantu dengan menjadi saksi dalam proses penegakan HAM;
  2. Mendukung para korban untuk memperoleh restitusi maupun kompensasi serta rehabilitasi;
  3. Tidak mengganggu jalannya persidangan HAM di Pengadilan HAM;
  4. Memberikan info kepada pegawapemerintah penegak aturan dan lembaga–lembaga HAM bila terjadi pelanggaran HAM;
  5. Mendorong untuk dapat menerima Cara rekonsiliasi melalui KKR kalau lewat jalan Peradilan HAM mengalami jalan buntu, demi menghapus dendam yang berkepanjangan yang mampu menghambat kehidupan yang hening dan serasi dalam bermasyarakat.


Sumber: https://ninahetty.wordpress.com/ba3/


Berlangganan Untuk Mendapatkan Artikel Terbaru:

0 Komentar Untuk "Materi Pelajaran PPKN: bab proteksi dan Penegakan Hak Asasi insan"

Post a Comment