Teori Belajar Thorndike
Edward Lee Thorndike ialah seorang
fungsionalis. Thorndike (1874-1949) mendapat gelar sarjananya dari Wesleyan
University di Connecticut pada tahun 1895, dan master dari Hardvard pada tahun
1897. Ketika di sana, Thorndike mengikuti kelasnya Williyams James dan mereka
pun menjadi dekat. Thorndike menerima beasiswa di Colombia, dan dapat
menyelesaikan gelar PhD-nya tahun 1898. Kemudian ia tinggal dan mengajar di
Colombiaa sampai pensiun tahun 1940. Thorndike berhasil menerbitkan suatu buku
yang berjudul “Animal intelligence, An
experimental study of associationprocess in Animal”. Buku tersebut
merupakan hasil penelitian Thorndike terhadap tingkah beberapa jenis hewan
seperti kucing, anjing, dan burung yang mencerminkan prinsip dasar dari proses
belajar yang dianut oleh Thorndike yaitu bahwa dasar dari belajar (learning) tidak lain sebenarnya adalah
asosiasi.
Teori yang dikemukakan Thorndike dikenal dengan teori stimulus-respon (S-R).
Dalam teori S-R dikatakan bahwa dalam proses mencar ilmu, pertama kali organisme (hewan,
orang) belajar dengan cara coba salah (trial
end error). Apabila suatu organisme berada dalam suatu situasi yang
mengandung kasus, maka organisme itu akan mengeluarkan tingkah laris yang
serentak dari kumpulan tingkah laris yang ada padanya untuk memecahkan kasus
itu. Berdasarkan pengalaman itulah, maka pada dikala menghadapi perkara yang
serupa, organisme sudah tahu tingkah laris mana yang harus dikeluarkannya untuk
memecahkan masalah. Ia mengasosiasikan suatu masalah tertentu dengan suatu
tingkah laris tertentu. Sebagai acuan seekor kucing yang dimasukkan dalam
kandang yang terkunci akan bergerak, berjalan, meloncat, mencakar, dan
sebagainya hingga suatu ketika secara kebetulan ia menginjak suatu pedal dalam
kandang itu sehingga kandang itu terbuka dan kucing pun bisa keluar. Sejak dikala
itulah, kucing akan eksklusif menginjak pedal kalau ia dimasukkan dalam sangkar
yang sama.
1. Definisi
Belajar Menurut Thorndike
Menurut
Thorndike (Budiningsih, 2005: 21) belajar adalah proses interaksi antara
stimulus dan respon. Stimulus yaitu apa saja yang dapat merangsang terjadinya
kegiatan mencar ilmu seolah-olah pikiran, perasaan atau hal-hal lain yang dapat ditangkap
melalui alat indera. Sedangkan respon yaitu reaksi yang dimunculkan penerima
didik ketika mencar ilmu, yang juga dapat berupa pikiran, perasaan, atau
gerakan/tindakan. Thorndike dalam teori belajarnya mengungkapkan sebetulnya
setiap tingkah laku makhluk hidup itu merupakan relasi antara stimulus dan
respon, adapun teori Thorndike ini disebut teori konesionisme. Belajar ialah pembentukan hubungan
stimulus dan respon sebanyak-banyaknya. Dengan artian dengan adanya stimulus
itu maka dibutuhkan timbul respon yang maksimal. Teori ini sering juga disebut
dengan teori trial dan error dalam teori ini orang yang
bisa menguasai hubungan stimulus dan respon sebanyak-banyaknya maka dapat
dikatakan orang ini merupakan orang yang berhasil dalam belajar. Adapun cara
untuk membentuk hubungan stimulus dan respon ini dilakukan dengan
ulangan-ulangan.
Dalam teori trial
dan error ini, berlaku bagi semua organisme dan apabila organisme
ini dihadapkan dengan keadaan atau situasi yang baru maka secara otomatis
organisme ini memberikan respon atau tindakan-tindakan yang bersifat coba-coba
atau bisa juga berdasarkan naluri lantaran intinya disetiap stimulus itu
pasti ditemui respon. Apabila dalam tindakan-tindakan yang dilakukan itu mengakibatkan
perbuatan atau tindakan yang cocok atau memuaskan maka tindakan ini akan
disimpan dalam benak seseorang atau organisme lainnya lantaran dirasa iantara
tindakan-tindakan yang paling cocok adalah tindakan itu, selama yang telah
dilakukan dalam menanggapi stimulus ialah situasi gres. Kaprikornus dalam teori ini pengulangan-pengulangan
respon atau tindakan dalam menanggapi stimulus atau stimulus baru itu sangat
penting sehingga seseorang atau organisme sanggup menemukan tindakan yang sempurna
dan dilakukan secara terus-menerus supaya lebih tajam dan tidak terjadi kemunduran
dalam tindakan atau respon terhadap stimulus.
Dalam
membuktikan teorinya Thorndike melaksanakan percobaan terhadap seekor kucing yang
lapar dan kucing itu ditaruh di sangkar, yang mana sangkar tersebut terdapat
celah-celah yang kecil sehingga seekor kucing itu bisa melihat kuliner yang
berada di luar sangkar dan sangkar itu mampu terbuka dengan sendiri apabila
seekor kucing tadi menyentuh salah satu jeruji yang terdapat dalam kandang
tersebut. Mula-mula kucing tersebut mengitari kandang beberapa kali sampai ia
menemukan jeruji yang bisa membuka pintu sangkar, kucing ini melaksanakan respon atau
tindakan dengan cara coba-coba, ia tidak mengetahui jalan keluar dari kandang
tersebut, kucing tadi melaksanakan respon yang sebanyak-banyaknya sehingga
menemukan tindakan yang cocok dalam situasi gres atau stimulus yang ada.
Thorndike melakukan percobaan ini berkali-kali pada kucing yang sama dan
situasi yang sama pula. Memang pertama kali kucing tersebut dalam menemukan
jalan keluar memerlukan waktu yang lama dan pastinya mengitari sangkar dengan
jumlah yang banyak pula, akan tetapi lantaran sifat dari setiap organisme itu
selalu memegang tindakan yang cocok dalam menghadapi situasi atau stimulus yang
ada, maka kucing tadi dalam menemukan jeruji yang menyebabkan kucing tadi mampu
keluar dari sangkar, ia pegang tindakan ini sehingga kucing ini dapat keluar
untuk mendapatkan kuliner dan tidak perlu lagi mengitari sangkar karena
tindakan ini dirasa tidak cocok. Akan tetapi kucing tadi langsung memegang
jeruji yang menyebabkannya bisa keluar untuk makan.
2. Ciri-ciri Belajar
Menurut Thorndike
Adapun
beberapa ciri-ciri belajar berdasarkan Thorndike (Kartika, 2013: 6), antara lain:
a.
Ada motif pendorong acara.
b.
Ada berbagai respon terhadap sesuatu.
c.
Ada eliminasi respon-respon yang gagal atau salah.
d.
Ada kemajuan reksi-reaksi mencapai tujuan dari
penelitiannya itu.
3.
Hukum-hukum yang Digunakan Edward Lee Thorndike
Thorndike
menyatakan bahwa belajar pada binatang maupun manusia berlangsung berdasarkan tiga
macam aturan pokok mencar ilmu, yaitu :
a. Hukum
Kesiapan (Law of Readiness)
Dalam
belajar seseorang harus dalam keadaan siap dalam artian seseorang yang berguru
harus dalam keadaan yang baik dan siap, jadi seseorang yang hendak belajar biar
dalam bergurunya menuai keberhasilan maka seseorang dituntut untuk memiliki
kesiapan, baik fisik maupun psikis. Siap fisik seperti seseorang tidak dalam
keadaan sakit, yang mana mampu mengganggu kualitas konsentrasi. Adapun
contoh dari siap psikis adalah seperti seseorang yang jiwanya tidak lagi
terganggu, seakan-akan sakit jiwa dan lain-lain. Disamping seseorang harus siap
fisik dan psikis seseorang juga harus siap dalam kematangan dalam penguasaan
pengetahuan serta kecalapan-kecakapan yang mendasarinya.
Menurut Thorndike (Ayuni, 2011: 9) ada tiga keadaan yang memperlihatkan berlakunya aturan ini, yaitu :
a. Bila pada
organisme adanya kesiapan untuk bertindak atau berprilaku, dan bila organisme
itu dapat melakukan kesiapan tersebut, maka organisme akan mengalami kepuasan.
b. Bila pada
organisme ada kesiapan organisme untuk bertindak atau berperilaku, dan
organisme tersebut tidak dapat melaksanakan kesiapan tersebut, maka organisme
akan mengalami kekecewaan.
c. Bila pada
organisme tidak ada persiapan untuk bertindak dan organisme itu dipaksa untuk
melakukannya maka hal tersebut akan menyebabkan keadaan yang tidak memuaskan.
Di samping hukum-hukum berguru
seperti yang telah dikemukakan di atas, konsep penting dari teori mencar ilmu koneksionisme
Thorndike ialah yang dinamakan transfer of pembinaan. Konsep ini
menjelaskan bahwa apa yang pernah dipelajari oleh anak kini harus mampu
digunakan untuk hal lain di kala yang akan tiba. Dalam konteks pembelajaran
konsep transfer of pembinaan merupakan hal yang sangat penting, karena
seandainya konsep ini tidak ada, maka apa yang akan dipelajari tidak akan
bermakna.
b. Hukum
Latihan (Law of Exercise)
Untuk
menghasilkan tindakan yang cocok dan memuaskan untuk merespon suatu stimulus
maka seseorang harus mengadakan percobaan dan latihan yang berulang-ulang,
adapun latihan atau pengulangan sikap yang cocok yang telah ditemukan dalam
belajar, maka ini merupakan bentuk peningkatan existensi dari perilaku yang
cocok tersebut semakin berpengaruh (Law of Use). Dalam suatu teknik supaya
seseorang mampu mentransfer pesan yang telah ia dapat dari sort time memory ke long time memory ini dibutuhkan
pengulangan sebanyak-banyaknya dengan cita-cita pesan yang telah didapat tidak
mudah hilang dari benaknya.
c. Hukum Akibat
(Law of Effect)
Hukum akhir
Thorndike mengemukakan (Dahar, 2011: 18) bila suatu tindakan diikuti oleh suatu
perubahan yang memuaskan dalam lingkungan, kemungkinan tindakan itu diulangi
dalam situasi yang mirip akan meningkat. Akan tetapi, bila suatu perilaku
diikuti oleh suatu perubahan yang tidak memuaskan dalam lingkungan, kemungkinan
perilaku itu diulangi akan menurun. Makara konsekuensi perilaku seseorang pada
suatu waktu memegang peranan penting dalam menentukan perilaku orang itu
selanjutnya.
Thorndike
mengungkapkan bahwa organisme itu sebagai mekanismus yang hanya bertindak bila
ada perangsang dan situasi yang mempengaruhinya. Dalam dunia pendidikan Law of Effect ini terjadi pada
tindakan seseorang dalam menyampaikan punishment atau reward.
Akan tetapi dalam dunia pendidikan berdasarkan Thorndike yang lebih memegang
peranan adalah sumbangan reward dan
inilah yang lebih ianjurkan. Teori Thorndike ini biasanya juga disebut
teori koneksionisme karena
dalam aturan bergurunya ada “Law of Effect”
yang mana di sini terjadi korelasi antara tingkah laris atau respon yang dipengaruhi
oleh stimulus dan situasi dan tingkah laku tersebut mendatangkan hasilnya (effect).
Selain hukum
pokok mencar ilmu tersebut di atas, masih terdapat aturan subside atau hukum-hukum minor lainnya, yaitu :
a.
Law of
Multiple Response
Supaya
sesuatu respons itu memperoleh hadiah atau berhasil, maka respons itu harus
terjadi. Apabila individu dihadapkan pada sesuatu soal, maka ia akan mencoba-coba
berbagai cara, apabila tingkah laku yang tepat (yakni yang membawa penyelesaian
atau berhasil) dilakukan maka sukses terjadi, dan proses berguru pun terjadi.
Hal tersebut akan berlaku sebaliknya.
b.
Law of Attitude
(Law of Set, Law of Disposition)
Respons-respons
apa yang dilakukan oleh individu itu ditentukan oleh cara penyelesaian individu
yang khas dalam menghadapi lingkungan kebudayaan tertentu. Sikap (attitude) tidak hanya menentukan apa
yang akan dikerjakan oleh seseorang tetapi juga cara yang kiranya akan
memuaskan atau tidak memuaskan baginya. Proses mencar ilmu ini mampu berlangsung bila ada kesiapan
mental yang faktual pada siswa
c.
Law of
Partial Activity (Law of Prepotency Element)
Pelajar mampu
bereaksi secara selektif terhadap kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam
situasi tertentu. Manusia dapat menentukan hal-hal yang pokok dan mendasarkan
tingkah lakunya kepada hal-hal yang pokok itu serta meninggalkan hal-hal yang
kecil.
d.
Law of
Response by Analogy (Law of Assimilation)
Orang
bereaksi terhadap situasi yang gres sebagaimana dia bereaksi terhadap situasi
yang ibarat dengan itu yang dihadapinya diwaktu yang kemudian, atau dia bereaksi
terhadap hal atau unsur tertentu dalam situasi yang telah berulang kali
dihadapinya. Jadi, respons-respons selalu dapat diterangkan dengan apa yang
telah pernah dikenalnya, dengan kecenderungan orisinil yang berespons.
e.
Law of
Assosiative Shifting
Bila suatu
respons dapat dipertahankan berlaku dalam serangkaian perubahan -perubahan
bahan dalam situasi yang merangsang, maka respons itu akhirnya dapat diberikan
kepada situasi yang sama sekali gres.
4. Prinsip-prinsip
Belajar yang Dikemukakan oleh Thorndike
a.
Pada dikala berhadapan dengan situasi yang gres,
berbagai respon ia lakukan. Adapun respon-respon tiap-tiap individu
berbeda-beda tidak sama walaupun menghadapi situasi yang sama hingga akhirnya
tiap individu mendapatlan respon atau tindakan yang cocok dan memuaskan.
Seperti contoh seseorang yang sedang dihadapkan dengan problema keluarga maka
seseorang niscaya akan menghadapi dengan respon yang berbeda-beda walaupun jenis
situasinya sama, contohnya orang renta dihadapkan dengan perilaku anak yang kurang
wajar.
b.
Dalam diri setiap orang sebenarnya sudah tertanam
potensi untuk mengadakan seleksi terhadap unsur-unsur yang penting dan kurang
penting, hingga akhirnya menemukan respon yang tepat. Seperti orang yang dalam
masa perkembangan dan menyongsong abad depan maka sebenarnya dalam diri orang
tersebut sudah mengetahui unsur yang penting yang harus dilakukan demi
mendapatkan hasil yang sesuai dengan yang diinginkan.
c.
Apa
yang ada pada diri seseorang, baik itu berupa pengalaman, kepercayaan, sikap
dan hal-hal lain yang telah ada pada dirinya turut menentukan tercapainya
tujuan yang ingin dicapai.
d.
Orang cenderung memberi respon yang sama terhadap
situasi yang sama. Seperti apabila seseorang dalam keadaan stress karena
diputus oleh pacarnya dan ia mengalami ini bukan hanya kali ini melainkan ia
pernah mengalami kejadian yang sama lantaran hal yang sama maka tentu ia akan
merespon situasi tersebut seakan-akan yang ia larisan seolah-olah dahulu ia lariskan.
e.
Orang
cenderung menghubungkan respon yang ia kuasai dengan situasi tertentu tatkala
menyadari bahwa respon yang ia kuasai dengan situasi tersebut mempunyai
hubungan.
f.
Manakala
suatu respon cocok dengan situasinya maka relatif lebih simpel untuk dipelajari.
5. Keunggulan-keunggulan
Teori Belajar Koneksionisme Thorndike
1.
Teori ini sering juga disebut dengan teori trial
dan error dalam teori ini orang mampu menguasai relasi stimulus
dan respon sebanyak-banyaknya sehingga orang akan terbiasa berpikir dan terbiasa mengembangkan pikirannya.
2.
Dengan
sering melaksanakan pengulangan dalam memecahkan suatu permasalahan, anak ajar
akan mempunyai sebuah pengalaman yang berharga. Selain itu dengan adanya sistem
pemberian hadiah, akan menciptakan anak bimbing menjadi lebih mempunyai kemauan dalam
memecahkan permasalahan yang dihadapinya.
6. Kelemahan-kelemahan
Teori Belajar Koneksionisme Thorndike
1.
Terlalu memandang insan sebagai mekanismus dan
otomatisme belaka disamakan dengan hewan. Meskipun banyak tingkah laris insan
yang otomatis, tetapi tidak selalu bahwa tingkah laku manusia itu dapat
dipengaruhi secara trial and error. Trial and error tidak berlaku mutlak
bagi insan.
2.
Memandang berguru hanya merupakan asosiasi belaka
antara stimulus dan respon. Sehingga yang dipentingkan dalam mencar ilmu ialah
memperkuat asosiasi tersebut dengan latihan-latihan, atau ulangan-ulangan yang
terus-menerus.
3.
Karena mencar ilmu berlangsung secara mekanistis, maka
pengertian tidak dipandangnya sebagai suatu yang pokok dalam mencar ilmu. Mereka
mengabaikan pengertian sebagai unsur yang pokok dalam belajar.
Implikasi
dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan
ruang gerak yang bebas bagi pelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan
mengembangkan kemempuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut
bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga
terkesan seolah-olah kinerja mesin atau robot. Akibatnya pelajar kurang mampu untuk
berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.
0 Komentar Untuk "Teori Belajar Thorndike"
Post a Comment