Teori Belajar Van Hiele
A. Konsep Dasar Teori Belajar Van
Hiel
Van Hiele adalah seorang
pengajar matematika Belanda yang telah mengadakan penelitian di lapangan,
melalui observasi dan tanya jawab, kemudian hasil penelitiannya ditulis dalam
disertasinya pada tahun 1954. Penelitian yang dilakukan Van Hiele melahirkan
beberapa kesimpulan mengenai tahap-tahap perkembangan kognitif anak dalam
memahami geometri. Van Hiele (dalam Ismail, 1998) menyatakan bahwa terdapat 5
tahap pemahaman geometri yaitu: Tahap pengenalan, analisis, pengurutan,
deduksi, dan keakuratan.
1. Tahap Pengenalan
Pada tahap ini siswa hanya baru mengenal bangun-bangun geometri seakan-akan bola, kubus, segitiga, persegi dan bangun-bangun geometri lainnya. Seandainya kita hadapkan dengan sejumlah bangun-bangun geornetri, anak mampu menentukan dan memperlihatkan bentuk segitiga. Pada tahap pengenalan anak belum mampu menyebutkan sifat-sifat dari bangun-bangun geometri yang dikenalnya sifat-sifat dari bangun-bangun geometri yang dikenalnya itu. Sehingga kalau kita ejekan pertanyaan seakan-akan "apakah pada sebuah persegipanjang, sisi-sisi yang berhadapan panjangnya sama?", "apakah pada suatu persegipanjang kedua diagonalnya sama panjang?". Untuk hal ini, siswa tidak akan mampu menjawabnya. Guru harus memahami betul karakter anak pada tahap pengenalan, jangan hingga, anak diajarkan sifat-sifat berdiri-bangun geometri tersebut, karena anak akan menerimanya melalui hafalan bukan dengan pengertian.
2. Tahap Analisis
Bila pada tahap pengenalan anak belum mengenal sifat-sifat dari berdiri-bangun geometri, tidak demikian pada tahap Analisis. Pada tahap ini anak sudah dapat memahami sifat-sifat dari bangun-bangun geometri. Pada tahap ini anak sudah mengenal sifat-sifat bangkit geometri, seakan-akan pada sebuah kubus banyak sisinya ada 6 buah, sedangkan banyak rusuknya ada 12. Seandainya kita tanyakan apakah kubus itu balok? maka anak pada tahap ini belum mampu menjawab pertanyaan tersebut lantaran anak pada tahap ini belum memahami hubungan antara balok dan kubus. Anak pada tahap analisis belum sanggup mengetahui hubungan yang terkait antara suatu bangun geometri dengan bangun geometri lainnya.
3. Tahap Pengurutan
Pada tahap ini pemahaman siswa terhadap geometri lebih meningkat lagi dari sebelumnya yang hanya mengenal bangun-bangun geometri beserta sifat-sifatnya, maka pada tahap ini anak sudah mampu mengetahui hubungan yang terkait antara suatu bangkit geometri dengan berdiri geometri lainnya. Anak yang berada pada tahap ini sudah memahami pengurutan bangun-bangun geometri. Misalnya, siswa sudah mengetahui jajargenjang itu trapesium, belah ketupat ialah layang-layang, kubus itu yaitu balok. Pada tahap ini anak sudah mulai sanggup untuk melaksanakan penarikan kesimpulan secara deduktif, tetapi masih pada tahap awal artinya belum berkembang baik. Karena masih pada tahap awal siswa masih belum sanggup menyampaikan alasan yang rinci ketika ditanya mengapa kedua diagonal persegi panjang itu sama, mengapa kedua diagonal pada persegi saling tegak lurus.
4. Tahap Deduksi
Pada tahap ini anak sudah mampu memahami deduksi, yaitu mengambil kesimpulan secara deduktif. Pengambilan kesimpulan secara deduktif yaitu penarikan kesimpulan dari hal-hal yang bersifat khusus. Seperti kita ketahui bahwa matematika adalah ilmu deduktif. Matematika, dikatakan sebagai ilmu deduktif lantaran pengambilan kesimpulan, mengambarkan teorema dan lain-lain dilakukan dengan cara deduktif. Sebagai pola untuk memperlihatkan bahwa jumlah sudut-sudut dalam jajargenjang ialah 360o secara deduktif dibuktikan dengan menggunakan prinsip kesejajaran. Pembuktian secara induktif yaitu dengan memotong-motong sudut-sudut benda jajargenjang, kemudian setelah itu ditunjukkan semua sudutnya membentuk sudut satu putaran penuh atau 360o belum tuntas dan belum tentu sempurna. Seperti diketahui bahwa pengukuran itu intinya mencari nilai yang paling akrab dengan ukuran yang sebenarnya. Makara, mungkin saja dapat keliru dalam mengukur sudut-sudut jajargenjang tersebut. Untuk itu pembuktian secara deduktif merupakan cara yang tepat dalam pembuktian pada matematika.
Anak pada tahap ini telah mengerti pentingnya kiprahan unsur-unsur yang tidak didefinisikan, di samping unsur-unsur yang didefinisikan, aksioma atau problem, dan teorema. Anak pada tahap ini belum memahami kegunaan dari suatu sistem deduktif. Oleh lantaran itu, anak pada tahap ini belum dapat menjawab pertanyaan “mengapa sesuatu itu disajikan teorema atau dalil.”
5. Tahap Keakuratan
Tahap terakhir dari perkembangan kognitif anak dalam memahami geometri adalah tahap keakuratan. Pada tahap ini anak sudah memahami betapa pentingnya ketepatan dari prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Anak pada tahap ini sudah memahami mengapa sesuatu itu dijadikan postulat atau dalil. Dalam matematika kita tahu bahwa betapa pentingnya suatu sistem deduktif. Tahap keakuratan merupakan tahap tertinggi dalam memahami geometri. Pada tahap ini memerlukan tahap berpikir yang kompleks dan rumit. Oleh lantaran itu, jarang atau hanya sedikit sekali anak yang hingga pada tahap berpikir ini sekalipun anak tersebut sudah berada di tingkat SMA.
Selain mengemukakan mengenai tahap-tahap perkembangan kognitif dalam memahami geometri, Van Hiele juga mengemukakan beberapa teori berkaitan dengan pembelajaran geometri. Teori yang dikemukakan Van Hiele antara lain yaitu sebagai berikut:
Tiga unsur yang utama pembelajaran geometri yaitu waktu, materi pembelajaran dan metode penyusun yang apabila dikelola secara terpadu dapat mengakibatkan meningkatnya kemampuan berpikir anak kepada tahap yang lebih tinggi dari tahap yang sebelumnya.
Bila dua orang yang memiliki tahap berpikir berlainan satu sama lain, kemudian saling bertukar pikiran maka kedua orang tersebut tidak akan mengerti. Sebagai pola, seorang anak tidak mengerti mengapa gurunya menerangkan bahwa jumlah sudut-sudut dalam sebuah jajargenjang adalah 360o, misalnya anak itu berada pada tahap pengurutan ke bawah. Menurut anak pada tahap yang disebutkan, pembuktiannya tidak perlu alasannya yaitu sudah terang bahwa jumlah sudut-sudutnya yaitu 360°. Contoh yang lain, seorang anak yang berada paling tinggi pada tahap kedua atau tahap analisis, tidak mengerti apa yang dijelaskan gurunya bahwa kubus itu yaitu balok, belah ketupat itu layang-layang. Gurunya pun sering tidak mengerti mengapa anak yang diberi penjelasan tersebut tidak memahaminya. Menurut Van Hiele seorang anak yang berada pada tingkat yang lebih rendah mustahil mampu mengerti atau memahami materi yang berada pada tingkat yang lebih tinggi dari anak tersebut. Kalaupun anak itu dipaksakan untuk memahaminya, anak itu gres mampu memahami melalui hafalan saja bukan melalui pengertian.Untuk menerima hasil yang diinginkan yaitu anak memahami geometri dengan pengertian, kegiatan mencar ilmu anak harus diubahsuaikan dengan tingkat perkembangan anak atau diubahsuaikan dengan taraf berpikirnya. Dengan demikian anak dapat memperkaya pengalaman dan berpikirnya, selain itu sebagai persiapan untuk meningkatkan tahap berpikirnya kepada tahap yang lebih tinggi dari tahap sebelumnya.
B. Vase-Vase Pembelajaran geometri
Menurut teori Pierre dan Dina Van Hiele (dalam Muharti, 1993) tingkat-tingkat pedoman geometrik dan fase pembelajaran siswa berkembang atau maju menurut tingkat-tingkat sebagai berikut: dari tingkat visual Gestalt-like melalui tingkat-tingkat sophisticated dari deskripsi, analisis, abstraksi dan bukti. Teori ini mempunyai karakteristik sebagai berikut:
menyatakan adanya tingkat-tingkat pedoman yang diskrit dan berbeda secara kualitatif.
2. Tingkat-tingkat itu berurutan dan berhirarki. Supaya siswa mampu berperan dengan baik pada suatu
tingkat yang lanjut dalam hirarki van Hiele, dia harus menguasai sebagian besar dari tingkat yang
lebih rendah. Kenaikan dari tingkat yang satu ke tingkat yang berikutnya lebih banyak tergantung
dari pembelajaran daripada umur atau kedewasaan biologis. Seorang guru dapat mengurangi
materi pelajaran ke tingkat yang lebih rendah, mampu membimbing untuk mengingat-ingat hafalan,
tetapi seorang siswa tidak mampu mengambil jalan pintas ke tingkat tinggi dan berhasil mencapai
pengertian, sebab menghafal bukan ciri yang penting dari tingkat manapun. Untuk mencapai
pengertian diperlukan kegiatan tertentu dari fase-fase pembelajaran.
3. Konsep-konsep yang secara implisit dipahami pada suatu tingkat menjadi dipahami secara eksplisit
pada tingkat berikutnya. Pada setiap tingkat muncul secara ekstrinsik dari sesuatu yang intrinsik
pada tingkat sebelumnya. Pada tingkat dasar, gambar-gambar sebenarnya juga tertentu oleh sifat-
sifatnya, tetapi seseorang yang berpikiran pada tingkat ini tidak sadar atau tidak tahu akan
sifat-sifat itu.
4. Setiap tingkat memiliki bahasanya sendiri, memiliki simbol linguistiknya sendiri dan sistem
relasinya sendiri yang menghubungkan simbol-simbol itu. Suatu kekerabatan yang benar pada suatu
tingkat, ternyata akan tidak benar pada tingkat yang lain. Misalnya anutan wacana persegi dan
persegi panjang. Dua orang yang berpikir pada tingkat yang berlainan tidak dapat saling mengerti,
dan yang satu tidak dapat mengikuti yang lain. (Van Hiele, 1959/1985/p:246). Struktur bahasa
yaitu suatu faktor yang kritis dalam perpindahan tingkat-tingkat ini. (Clements, 1992).
Model Van Hiele tidak hanya memuat tingkat-tingkat pemikiran geometrik. Menurut Van Hiele (dalam Ismail, 1998), kenaikan dari tingat yang satu ke tingkat berikutnya tergantung sedikit pada kedewasaan biologis atau perkembangannya, dan tergantung lebih banyak kepada akibat pembelajarannya. Guru memegang peran penting dan istimewa untuk memperlancar kemajuan, terutama untuk memberi bimbingan mengenai pengharapan. Walaupun demikian, teori Van Hiele tidak mendukung model teori absorbsi perihal belajar mengajar. Van Hiele menuntut bahwa tingkat yang lebih tinggi tidak langsung berdasarkan pendapat guru, tetapi melalui pilihan-pilihan yang tepat. Lagi pula, anak-anak sendiri akan menentukan kapan saatnya untuk naik ke tingkat yang lebih tinggi. Meskipun demikian, siswa tidak akan mencapai kemajuan tanpa bantuan guru. Oleh karena itu, maka ditetapkan fase-fase pembelajaran yang menunjukkan tujuan mencar ilmu siswa dan kiprah guru dalam pembelajaran dalam mencapai tujuan itu.
Fase-fase pembelajaran tersebut ialah:
1). Fase informasi
Pada awal tingkat ini, guru dan siswa menggunakan tanya-jawab dan kegiatan perihal objek-objek yang dipelajari pada tahap berpikir siswa. Dalam hal ini objek yang dipelajari ialah sifat komponen dan hubungan antar komponen bangkit-bangun segi empat. Guru mengajukan pertanyaan kepada siswa sambil melaksanakan observasi. Tujuan dari kegiatan ini ialah: (1) guru mempelajari pengalaman awal yang dimiliki siswa ihwal topik yang dibahas. (2) guru mempelajari petunjuk yang muncul dalam rangka menentukan pembelajaran selanjutnya yang akan diambil.
2). Fase orientasi
Siswa menggali topik yang dipelajari melalui alat-alat yang dengan cermat telah disiapkan guru. Aktivitas ini akan berangsur-angsur menampakkan kepada siswa struktur yang memberi ciri-ciri sifat komponen dan hubungan antar komponen suatu bangun segi empat. Alat atau pun materi dirancang menjadi tugas pendek sehingga mampu mendatangkan respon khusus.
3). Fase eksplisitasi
Berdasarkan pengalaman sebelumnya, siswa menyatakan pandangan yang muncul mengenai struktur yang diobservasi. Di samping itu, untuk membantu siswa menggunakan bahasa yang tepat dan akurat, guru memberi donasi sesedikit mungkin. Hal tersebut berlangsung sampai sistem hubungan pada tahap berpikir mulai tampak positif.
4). Fase orientasi bebas
Siswa menghadapi peran-tugas yang lebih kompleks berupa peran yang memerlukan banyak langkah, peran yang dilengkapi dengan banyak cara, dan tugas yang open-ended. Mereka memperoleh pengalaman dalam menemukan cara mereka sendiri, maupun dalam menyelesaikan tugas-tugas. Melalui orientasi di antara para siswa dalam bidang investigasi, banyak hubungan antar objek menjadi terperinci.
5). Fase integrasi
Siswa meninjau kembali dan meringkas apa yang telah dipelajari. Guru dapat membantu siswa dalam menciptakan sintesis ini dengan melengkapi survey secara global terhadap apa yang telah dipelajari. Hal ini penting, tetapi kesimpulan ini tidak menunjukkan sesuatu yang gres. Pada akhir fase kelima ini siswa mencapai tahap berpikir yang gres. Siswa siap untuk mengulangi fase-fase belajar pada tahap sebelumnya. Setelah akhir fase kelima ini, maka tingkat pemikiran yang gres perihal topik itu mampu tercapai. Pada umumnya, hasil penelitian di Amerika Serikat dan negara lainnya memutuskan bahwa tingkat-tingkat dari Van Hiele berkhasiat untuk menggambarkan perkembangan konsep geometrik siswa dari SD hingga Perguruan Tinggi.
C. Implementasi Teori Belajar Van Hiele dalam Pembelajaran Geometri
Pada sub unit ini Anda akan mempelajari suatu kegiatan berguru-mengajar yang mengacu pada fase-fase pembelajaran model Van Hiele. Kegiatan mencar ilmu di sini dimaksudkan untuk meningkatkan tahap berpikir siswa dari 0 (visualisasi) ke tahap 1 (analitik).
Ciri-ciri dari tahap visualisasi ialah sebagai berikut: Siswa mengidentifikasi, memberi nama, membandingkan, dan mengoperasikan gambar-gambar geometri seperti: segitiga, sudut, dan perpotongan garis berdasarkan penampakannya.
Sedangkan ciri-ciri tahap analitik ialah: Siswa menganalisis berdiri berdasarkan sifat-sifat dari komponen dan hubungan antar komponen, menyusun sifat-sifat pada sebuah kelas bangun-bangun secara nyata, dan menggunakan sifat-sifat tersebut untuk memecahkan duduk perkara.
Teori-teori yang dikemukakan oleh Van Hiele memang lebih sempit dibandingkan teori-teori yang dikemukakan Piaget dan Dienes, karena ia hanya mengkhususkan pada pembelajaran geometri saja. Meskipun demikian bantuan tidak sedikit dalam pembelajaran geometri. Berikut hal-hal yang diambil manfaatnya dari teori yang dikemukakan. Guru dapat mengambil manfaat dari tahap-tahap perkembangan kognitif anak yang dikemukakan Van Hiele. Guru mampu mengetahui mengapa seorang anak tidak memahami bahwa kubus itu merupakan balok lantaran anak tersebut tahap berpikirnya masih berada pada tahap analisis ke bawah, anak belum masuk pada tahap pengurutan.
Supaya anak mampu memahami geometri dengan pengertian, pembelajaran geometri harus disesuaikan dengan tahap berpikir anak. Makara, jangan sekali-kali memberi pembelajaran materi yang bergotong-royong berada di atas tahap berpikirnya. Selain itu, hindarilah siswa untuk menyesuaikan dirinya dengan tahap pembelajaran guru tetapi yang terjadi harus sebaliknya.
Agar topik-topik pada materi geometri mampu dipahami dengan baik, anak mampu mempelajari topik-topik tersebut berdasarkan urutan tingkat kesukarannya dimulai dari tingkat yang paling praktis hingga dengan tingkat yang paling rumit dan kompleks.
Mari kita perhatikan model pemahaman segi empat menurut Van Hiele
Pada tahap ini siswa hanya baru mengenal bangun-bangun geometri seakan-akan bola, kubus, segitiga, persegi dan bangun-bangun geometri lainnya. Seandainya kita hadapkan dengan sejumlah bangun-bangun geornetri, anak mampu menentukan dan memperlihatkan bentuk segitiga. Pada tahap pengenalan anak belum mampu menyebutkan sifat-sifat dari bangun-bangun geometri yang dikenalnya sifat-sifat dari bangun-bangun geometri yang dikenalnya itu. Sehingga kalau kita ejekan pertanyaan seakan-akan "apakah pada sebuah persegipanjang, sisi-sisi yang berhadapan panjangnya sama?", "apakah pada suatu persegipanjang kedua diagonalnya sama panjang?". Untuk hal ini, siswa tidak akan mampu menjawabnya. Guru harus memahami betul karakter anak pada tahap pengenalan, jangan hingga, anak diajarkan sifat-sifat berdiri-bangun geometri tersebut, karena anak akan menerimanya melalui hafalan bukan dengan pengertian.
2. Tahap Analisis
Bila pada tahap pengenalan anak belum mengenal sifat-sifat dari berdiri-bangun geometri, tidak demikian pada tahap Analisis. Pada tahap ini anak sudah dapat memahami sifat-sifat dari bangun-bangun geometri. Pada tahap ini anak sudah mengenal sifat-sifat bangkit geometri, seakan-akan pada sebuah kubus banyak sisinya ada 6 buah, sedangkan banyak rusuknya ada 12. Seandainya kita tanyakan apakah kubus itu balok? maka anak pada tahap ini belum mampu menjawab pertanyaan tersebut lantaran anak pada tahap ini belum memahami hubungan antara balok dan kubus. Anak pada tahap analisis belum sanggup mengetahui hubungan yang terkait antara suatu bangun geometri dengan bangun geometri lainnya.
3. Tahap Pengurutan
Pada tahap ini pemahaman siswa terhadap geometri lebih meningkat lagi dari sebelumnya yang hanya mengenal bangun-bangun geometri beserta sifat-sifatnya, maka pada tahap ini anak sudah mampu mengetahui hubungan yang terkait antara suatu bangkit geometri dengan berdiri geometri lainnya. Anak yang berada pada tahap ini sudah memahami pengurutan bangun-bangun geometri. Misalnya, siswa sudah mengetahui jajargenjang itu trapesium, belah ketupat ialah layang-layang, kubus itu yaitu balok. Pada tahap ini anak sudah mulai sanggup untuk melaksanakan penarikan kesimpulan secara deduktif, tetapi masih pada tahap awal artinya belum berkembang baik. Karena masih pada tahap awal siswa masih belum sanggup menyampaikan alasan yang rinci ketika ditanya mengapa kedua diagonal persegi panjang itu sama, mengapa kedua diagonal pada persegi saling tegak lurus.
4. Tahap Deduksi
Pada tahap ini anak sudah mampu memahami deduksi, yaitu mengambil kesimpulan secara deduktif. Pengambilan kesimpulan secara deduktif yaitu penarikan kesimpulan dari hal-hal yang bersifat khusus. Seperti kita ketahui bahwa matematika adalah ilmu deduktif. Matematika, dikatakan sebagai ilmu deduktif lantaran pengambilan kesimpulan, mengambarkan teorema dan lain-lain dilakukan dengan cara deduktif. Sebagai pola untuk memperlihatkan bahwa jumlah sudut-sudut dalam jajargenjang ialah 360o secara deduktif dibuktikan dengan menggunakan prinsip kesejajaran. Pembuktian secara induktif yaitu dengan memotong-motong sudut-sudut benda jajargenjang, kemudian setelah itu ditunjukkan semua sudutnya membentuk sudut satu putaran penuh atau 360o belum tuntas dan belum tentu sempurna. Seperti diketahui bahwa pengukuran itu intinya mencari nilai yang paling akrab dengan ukuran yang sebenarnya. Makara, mungkin saja dapat keliru dalam mengukur sudut-sudut jajargenjang tersebut. Untuk itu pembuktian secara deduktif merupakan cara yang tepat dalam pembuktian pada matematika.
Anak pada tahap ini telah mengerti pentingnya kiprahan unsur-unsur yang tidak didefinisikan, di samping unsur-unsur yang didefinisikan, aksioma atau problem, dan teorema. Anak pada tahap ini belum memahami kegunaan dari suatu sistem deduktif. Oleh lantaran itu, anak pada tahap ini belum dapat menjawab pertanyaan “mengapa sesuatu itu disajikan teorema atau dalil.”
5. Tahap Keakuratan
Tahap terakhir dari perkembangan kognitif anak dalam memahami geometri adalah tahap keakuratan. Pada tahap ini anak sudah memahami betapa pentingnya ketepatan dari prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Anak pada tahap ini sudah memahami mengapa sesuatu itu dijadikan postulat atau dalil. Dalam matematika kita tahu bahwa betapa pentingnya suatu sistem deduktif. Tahap keakuratan merupakan tahap tertinggi dalam memahami geometri. Pada tahap ini memerlukan tahap berpikir yang kompleks dan rumit. Oleh lantaran itu, jarang atau hanya sedikit sekali anak yang hingga pada tahap berpikir ini sekalipun anak tersebut sudah berada di tingkat SMA.
Selain mengemukakan mengenai tahap-tahap perkembangan kognitif dalam memahami geometri, Van Hiele juga mengemukakan beberapa teori berkaitan dengan pembelajaran geometri. Teori yang dikemukakan Van Hiele antara lain yaitu sebagai berikut:
Tiga unsur yang utama pembelajaran geometri yaitu waktu, materi pembelajaran dan metode penyusun yang apabila dikelola secara terpadu dapat mengakibatkan meningkatnya kemampuan berpikir anak kepada tahap yang lebih tinggi dari tahap yang sebelumnya.
Bila dua orang yang memiliki tahap berpikir berlainan satu sama lain, kemudian saling bertukar pikiran maka kedua orang tersebut tidak akan mengerti. Sebagai pola, seorang anak tidak mengerti mengapa gurunya menerangkan bahwa jumlah sudut-sudut dalam sebuah jajargenjang adalah 360o, misalnya anak itu berada pada tahap pengurutan ke bawah. Menurut anak pada tahap yang disebutkan, pembuktiannya tidak perlu alasannya yaitu sudah terang bahwa jumlah sudut-sudutnya yaitu 360°. Contoh yang lain, seorang anak yang berada paling tinggi pada tahap kedua atau tahap analisis, tidak mengerti apa yang dijelaskan gurunya bahwa kubus itu yaitu balok, belah ketupat itu layang-layang. Gurunya pun sering tidak mengerti mengapa anak yang diberi penjelasan tersebut tidak memahaminya. Menurut Van Hiele seorang anak yang berada pada tingkat yang lebih rendah mustahil mampu mengerti atau memahami materi yang berada pada tingkat yang lebih tinggi dari anak tersebut. Kalaupun anak itu dipaksakan untuk memahaminya, anak itu gres mampu memahami melalui hafalan saja bukan melalui pengertian.Untuk menerima hasil yang diinginkan yaitu anak memahami geometri dengan pengertian, kegiatan mencar ilmu anak harus diubahsuaikan dengan tingkat perkembangan anak atau diubahsuaikan dengan taraf berpikirnya. Dengan demikian anak dapat memperkaya pengalaman dan berpikirnya, selain itu sebagai persiapan untuk meningkatkan tahap berpikirnya kepada tahap yang lebih tinggi dari tahap sebelumnya.
B. Vase-Vase Pembelajaran geometri
Menurut teori Pierre dan Dina Van Hiele (dalam Muharti, 1993) tingkat-tingkat pedoman geometrik dan fase pembelajaran siswa berkembang atau maju menurut tingkat-tingkat sebagai berikut: dari tingkat visual Gestalt-like melalui tingkat-tingkat sophisticated dari deskripsi, analisis, abstraksi dan bukti. Teori ini mempunyai karakteristik sebagai berikut:
menyatakan adanya tingkat-tingkat pedoman yang diskrit dan berbeda secara kualitatif.
2. Tingkat-tingkat itu berurutan dan berhirarki. Supaya siswa mampu berperan dengan baik pada suatu
tingkat yang lanjut dalam hirarki van Hiele, dia harus menguasai sebagian besar dari tingkat yang
lebih rendah. Kenaikan dari tingkat yang satu ke tingkat yang berikutnya lebih banyak tergantung
dari pembelajaran daripada umur atau kedewasaan biologis. Seorang guru dapat mengurangi
materi pelajaran ke tingkat yang lebih rendah, mampu membimbing untuk mengingat-ingat hafalan,
tetapi seorang siswa tidak mampu mengambil jalan pintas ke tingkat tinggi dan berhasil mencapai
pengertian, sebab menghafal bukan ciri yang penting dari tingkat manapun. Untuk mencapai
pengertian diperlukan kegiatan tertentu dari fase-fase pembelajaran.
3. Konsep-konsep yang secara implisit dipahami pada suatu tingkat menjadi dipahami secara eksplisit
pada tingkat berikutnya. Pada setiap tingkat muncul secara ekstrinsik dari sesuatu yang intrinsik
pada tingkat sebelumnya. Pada tingkat dasar, gambar-gambar sebenarnya juga tertentu oleh sifat-
sifatnya, tetapi seseorang yang berpikiran pada tingkat ini tidak sadar atau tidak tahu akan
sifat-sifat itu.
4. Setiap tingkat memiliki bahasanya sendiri, memiliki simbol linguistiknya sendiri dan sistem
relasinya sendiri yang menghubungkan simbol-simbol itu. Suatu kekerabatan yang benar pada suatu
tingkat, ternyata akan tidak benar pada tingkat yang lain. Misalnya anutan wacana persegi dan
persegi panjang. Dua orang yang berpikir pada tingkat yang berlainan tidak dapat saling mengerti,
dan yang satu tidak dapat mengikuti yang lain. (Van Hiele, 1959/1985/p:246). Struktur bahasa
yaitu suatu faktor yang kritis dalam perpindahan tingkat-tingkat ini. (Clements, 1992).
Model Van Hiele tidak hanya memuat tingkat-tingkat pemikiran geometrik. Menurut Van Hiele (dalam Ismail, 1998), kenaikan dari tingat yang satu ke tingkat berikutnya tergantung sedikit pada kedewasaan biologis atau perkembangannya, dan tergantung lebih banyak kepada akibat pembelajarannya. Guru memegang peran penting dan istimewa untuk memperlancar kemajuan, terutama untuk memberi bimbingan mengenai pengharapan. Walaupun demikian, teori Van Hiele tidak mendukung model teori absorbsi perihal belajar mengajar. Van Hiele menuntut bahwa tingkat yang lebih tinggi tidak langsung berdasarkan pendapat guru, tetapi melalui pilihan-pilihan yang tepat. Lagi pula, anak-anak sendiri akan menentukan kapan saatnya untuk naik ke tingkat yang lebih tinggi. Meskipun demikian, siswa tidak akan mencapai kemajuan tanpa bantuan guru. Oleh karena itu, maka ditetapkan fase-fase pembelajaran yang menunjukkan tujuan mencar ilmu siswa dan kiprah guru dalam pembelajaran dalam mencapai tujuan itu.
Fase-fase pembelajaran tersebut ialah:
1). Fase informasi
Pada awal tingkat ini, guru dan siswa menggunakan tanya-jawab dan kegiatan perihal objek-objek yang dipelajari pada tahap berpikir siswa. Dalam hal ini objek yang dipelajari ialah sifat komponen dan hubungan antar komponen bangkit-bangun segi empat. Guru mengajukan pertanyaan kepada siswa sambil melaksanakan observasi. Tujuan dari kegiatan ini ialah: (1) guru mempelajari pengalaman awal yang dimiliki siswa ihwal topik yang dibahas. (2) guru mempelajari petunjuk yang muncul dalam rangka menentukan pembelajaran selanjutnya yang akan diambil.
2). Fase orientasi
Siswa menggali topik yang dipelajari melalui alat-alat yang dengan cermat telah disiapkan guru. Aktivitas ini akan berangsur-angsur menampakkan kepada siswa struktur yang memberi ciri-ciri sifat komponen dan hubungan antar komponen suatu bangun segi empat. Alat atau pun materi dirancang menjadi tugas pendek sehingga mampu mendatangkan respon khusus.
3). Fase eksplisitasi
Berdasarkan pengalaman sebelumnya, siswa menyatakan pandangan yang muncul mengenai struktur yang diobservasi. Di samping itu, untuk membantu siswa menggunakan bahasa yang tepat dan akurat, guru memberi donasi sesedikit mungkin. Hal tersebut berlangsung sampai sistem hubungan pada tahap berpikir mulai tampak positif.
4). Fase orientasi bebas
Siswa menghadapi peran-tugas yang lebih kompleks berupa peran yang memerlukan banyak langkah, peran yang dilengkapi dengan banyak cara, dan tugas yang open-ended. Mereka memperoleh pengalaman dalam menemukan cara mereka sendiri, maupun dalam menyelesaikan tugas-tugas. Melalui orientasi di antara para siswa dalam bidang investigasi, banyak hubungan antar objek menjadi terperinci.
5). Fase integrasi
Siswa meninjau kembali dan meringkas apa yang telah dipelajari. Guru dapat membantu siswa dalam menciptakan sintesis ini dengan melengkapi survey secara global terhadap apa yang telah dipelajari. Hal ini penting, tetapi kesimpulan ini tidak menunjukkan sesuatu yang gres. Pada akhir fase kelima ini siswa mencapai tahap berpikir yang gres. Siswa siap untuk mengulangi fase-fase belajar pada tahap sebelumnya. Setelah akhir fase kelima ini, maka tingkat pemikiran yang gres perihal topik itu mampu tercapai. Pada umumnya, hasil penelitian di Amerika Serikat dan negara lainnya memutuskan bahwa tingkat-tingkat dari Van Hiele berkhasiat untuk menggambarkan perkembangan konsep geometrik siswa dari SD hingga Perguruan Tinggi.
C. Implementasi Teori Belajar Van Hiele dalam Pembelajaran Geometri
Pada sub unit ini Anda akan mempelajari suatu kegiatan berguru-mengajar yang mengacu pada fase-fase pembelajaran model Van Hiele. Kegiatan mencar ilmu di sini dimaksudkan untuk meningkatkan tahap berpikir siswa dari 0 (visualisasi) ke tahap 1 (analitik).
Ciri-ciri dari tahap visualisasi ialah sebagai berikut: Siswa mengidentifikasi, memberi nama, membandingkan, dan mengoperasikan gambar-gambar geometri seperti: segitiga, sudut, dan perpotongan garis berdasarkan penampakannya.
Sedangkan ciri-ciri tahap analitik ialah: Siswa menganalisis berdiri berdasarkan sifat-sifat dari komponen dan hubungan antar komponen, menyusun sifat-sifat pada sebuah kelas bangun-bangun secara nyata, dan menggunakan sifat-sifat tersebut untuk memecahkan duduk perkara.
Teori-teori yang dikemukakan oleh Van Hiele memang lebih sempit dibandingkan teori-teori yang dikemukakan Piaget dan Dienes, karena ia hanya mengkhususkan pada pembelajaran geometri saja. Meskipun demikian bantuan tidak sedikit dalam pembelajaran geometri. Berikut hal-hal yang diambil manfaatnya dari teori yang dikemukakan. Guru dapat mengambil manfaat dari tahap-tahap perkembangan kognitif anak yang dikemukakan Van Hiele. Guru mampu mengetahui mengapa seorang anak tidak memahami bahwa kubus itu merupakan balok lantaran anak tersebut tahap berpikirnya masih berada pada tahap analisis ke bawah, anak belum masuk pada tahap pengurutan.
Supaya anak mampu memahami geometri dengan pengertian, pembelajaran geometri harus disesuaikan dengan tahap berpikir anak. Makara, jangan sekali-kali memberi pembelajaran materi yang bergotong-royong berada di atas tahap berpikirnya. Selain itu, hindarilah siswa untuk menyesuaikan dirinya dengan tahap pembelajaran guru tetapi yang terjadi harus sebaliknya.
Agar topik-topik pada materi geometri mampu dipahami dengan baik, anak mampu mempelajari topik-topik tersebut berdasarkan urutan tingkat kesukarannya dimulai dari tingkat yang paling praktis hingga dengan tingkat yang paling rumit dan kompleks.
Mari kita perhatikan model pemahaman segi empat menurut Van Hiele
a).
Persegi
- Keempat sudutnya sama besar
b).
Persegi panjang
c). Belah ketupat
d).
Jajar genjang
e).
Trapesium
f).
Layang-layang
Adapun pembelajaran yang dilaksanakan pada setiap fase pembelajaran yaitu sebagai berikut:
1. Aktivitas yang dilaksanakan pada fase 1 (Informasi)
- Dengan memakai gambar bermacam-macam berdiri segiempat, siswa diinstruksikan untuk memberi nama masing-masing bangkit.
- Guru mengenalkan kosa kata khusus, seakan-akan: simetri lipat, simetri putar, sisi berhadapan, sudut berhadapan, dan sisi sejajar.
- Dengan metode tanya jawab, guru menggali kemampuan awal siswa.
2. Aktivitas yang dilaksanakan pada fase 2
(Orientasiasi)
- Siswa disuruh membuat suatu model bangkit segiempat dari kertas.
- Dengan menggunakan model
bangun tersebut serta kertas berpetak siku-siku, siswa diinstruksikan untuk
menyelidiki:
* Banyaknya sisi berhadapan yang sejajar
* Sudut suatu bangkit siku-siku atau tidak - Dengan menggunakan suatu model berdiri, siswa diminta untuk melipat model bangkit tersebut. Kegiatan ini dimaksudkan untuk menemukan sumbu simetri. Selanjutnya siswa diinstruksikan untuk menyidik banyaknya sumbu simetri yang dimiliki oleh suatu bangun.
- Melipat model tersebut pada diagonalnya, lalu menempatkan yang satu di atas yang lain. Siswa diminta untuk menyidik banyaknya pasangan sudut berhadapan yang besarnya sama.
- Memotong pojok yang berdekatan, kemudian menempatkan salah satu sisi bagian pertama berimpit dengan salah satu sisi potongan yang kedua. Siswa diminta untuk mengusut apakah sudut yang berdekatan membentuk sudut lurus.
- Memotong semua pojoknya dan
menempatkan potongan-potongan tersebut sedemikian sehingga menutup bidang rata.
Selenjutnya siswa diminta untuk menyidik apakah keempat sudut itu membentuk
sudut putaran.
* Siswa diinstruksikan untuk mengukur panjang sisi-sisi suatu segiempat, apakah ada sisi
yang sama panjang? * Siswa diinstruksikan untuk mengukur diagonal suatu segi empat, apakah diagonalnya sama
panjang?
3. Aktivitas yang
dilaksanakan pada fase 3 (Penjelasan)
Siswa diberi bemacam-macam
potongan segiempat. Mereka diminta untuk mengelompokkan segiempat berdasarkan
sifat-sifat tertentu, seperti:
- a) segiempat yang mempunyai sisi sejajar
- segiempat yang mempunyai sudut-sudut siku-siku
- segiempat yang memiliki sisi-sisi sama panjang
4. Aktivitas yang
dilaksanakan pada fase 4 (Orientasi Bebas)
Dengan menggunakan belahan
segitiga, siswa diminta untuk membentuk segiempat, dan menyebutkan nama
segiempat yang telah terbentuk.
5. Aktivitas yang
dilaksanakan pada fase 5 (Integrasi)
Siswa dibimbing untuk menyimpulkan
sifat-sifat segiempat tertentu, seperti:
- sifat persegi adalah: ....
- sifat persegipanjang adalah ....
- sifat belahketupat ialah ....
- sifat jajargenjang ialah ....
- sifat layang-layang adalah ....
- sifat trapesium adalah ....
0 Komentar Untuk "Teori Belajar Van Hiele"
Post a Comment